Logosentrisme adalah salah satu fase dalam filsafat bahasa yang muncul pada era modern sampai postmodern. Istilah logosentrisme pertama kali diperkenalkan oleh Ludwig Klages pada tahun 1920. Pada saat itu tradisi Filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang disebut dengan metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Selanjutnya akan dijelaskan aliran logosentrisme kemudian aplikasi teori ini pada ayat-ayat salat.
Aliran Logosentrisme
Ditinjau dari segi bahasa, logosentrisme berasal dari kata “logos” yang berarti bahasa, teks, isi pemikiran, kata, kalam, dan pembicaraan secara harfiah. Logosentris artinya keterpusatan pada logos (kata). Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandalkan logos atau kebenaran transdental di balik segala hal yang tampak di permukaan. Dengan kata lain, logosentrisme menganggap bahwa setiap makna memiliki intertekstualitas tanda. Jika tidak ada tanda, maka makna tidak akan pernah ada.
Logosentrisme yang diperkenalkan oleh Ludwig Klages mendapat pertentangan dari seorang tokoh filsuf Jacques Derrida. Menurutnya, suatu makna tidak dapat ditemukan dalam bahasa tanpa melihat realitas bahasa itu sendiri, selain itu makna juga tidak dapat ditemukan dari suatu perkataan tanpa melihat intertekstualitas makna tersebut. Maka dari itu, bahasa harus dibuktikan dengan membongkar (dekonstruksi) realitas subjek.
Definisi atau makna tidak hanya diungkapkan sekadar menjadi bahasa, melainkan harus disertai dengan realitas dan konsep different (pembeda), karena antara satu bahasa dengan bahasa lain memiliki realitas yang berbeda-beda. Maka dari itu, bahasa yang memiliki metafisika dan realitas harus dikembalikan pada hakikatnya dengan tiga cara, yaitu: bahasa harus diurai dalam intertekstualitas, subjek mengandung fikiran dan bahasa, serta Logosentrisme sebagai metafisika.
Aplikasi Teori Logosentrisme dalam Ayat Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang dapat digunakan sesuai dengan perkembangan zaman. Allah tidak secara langsung memaparkan segala sesuatu yang ada dalam dunia ini, melainkan memberi informasi menggunakan sistem tanda (logos) di dalam Al-Qur’an. Hal ini bertujuan agar manusia dapat berpikir dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara mendalam.
Kita tidak bisa memahami ayat-ayat Al-Qur’an hanya dengan melihat dari sisi satu ayat dan tidak menggunakan intertektualitas tanda yang lain. Adapun contoh aplikasi teori logosentrisme dalam penafsiran ayat Al-Qur’an dapat dilihat dalam Q.S al-Maun ayat 4 yang berbunyi:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
“Maka celakalah bagi orang yang salat”.
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa celaka bagi orang-orang yang salat. Mereka akan ditempatkan di neraka wail. Jika kita tidak melakukan intertekstual teks, maka ayat tersebut pasti akan menjadi rancu dan salah. Bagaimana mungkin orang yang salat akan celaka dan justru masuk ke dalam neraka wail?
Intertekstualitas Teks dengan Teks
Maka dari itu, diperlukan ayat lain untuk menjelaskan/ mendekonstruksikan makna ayat tersebut. Hal ini disebut dengan intertekstual teks dengan teks. Adapun ayat yang digunakan untuk mendekonstruksikan ayat tersebut berada pada ayat setelahnya, yang berbunyi:
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
“Yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya”.
Ayat ini menjelaskan ayat sebelumnya mengenai celaka dan neraka bagi orang-orang yang salat. Ternyata, setelah melakukan intertekstual ayat, diketahui bahwa orang yang salat akan masuk neraka jika mereka lalai dalam salatnya. Adapun contoh orang yang lalai dalam salat ialah orang yang selalu menunda salat sehingga menunaikannya saat batas waktu terakhir.
Sedangkan pemaknaan teks dengan realitas dapat dilakukan melalui analisis mengenai sebab-sebab orang yang tidak khusyuk dalam salatnya. Berdasarkan analisis, ditemukan bahwa beberapa orang tidak khusyuk dalam salat mereka karena memikirkan hal-hal duniawi. Bahkan beberapa ulama berpendapat bahwa meskipun kita memikirkan Allah dan ciptaan-Nya dalam salat, kita sudah dapat dikategorikan tidak khusyuk dalam salat.
Memaknai Puncak Khusyuk dalam Salat
Puncak dari khusyuk dalam salat ialah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota badan, termasuk keadaan pikiran dan bisikan hati secara keseluruhan menuju kehadirat Ilahi. Akan tetapi, khusyuk dalam salat juga memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkat terendah ialah sekedar pengalaman yang tulus kepada-Nya walau diselingi oleh pikiran yang melayang kepada hal-hal yang tidak bersifat negatif. Contoh: Nabi Muhammad SAW mendengar suara tangis anak kecil saat beliau sedang salat, sehingga beliau mempersingkat shalatnya.
Selain itu, Nabi SAW juga pernah memperlama sujudnya karena Hasan dan Husein menunggangi pundaknya saat sedang salat. Dengan demikian, kekhusyukan tidak selalu bermakna hilangnya segala ingatan kecuali kepada Allah SWT.
Kasus lain membuktikan, adanya orang-orang yang tidak khusyuk dalam salat disebabkan karena sedang memikirkan masalah-masalah yang ia miliki dalam hidup. Kemungkinan, ia memikirkan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ia miliki saat itu. Kemudian, realitas tersebut di dekonstruksi menjadi fakta bahwa ia salat bukan karena memikirkan masalah atau solusi atas permasalahan tersebut, melainkan ia malas dalam menunaikan salat.
Maka, hasil dekonstruksi tersebut adalah hasil dari proses pembongkaran fakta dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta tersebut. Karena setelah ditelusuri, ternyata fakta yang sesungguhnya bukanlah hal yang tampak melainkan terdapat fakta lain dibalik itu.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.