Di antara isu besar yang menjadi perdebatan di kalangan ulama Al-Qur’an adalah apakah Nabi Muhammad dahulu sempat menafsirkan seluruh Al-Qur’an? Terkait ini ada beberapa bukti, baik berupa ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, hadis-hadis maupun atsar-atsar. Secara umum menegaskan bahwa Nabi menafsirkan sebagian Al-Qur’an. Sementara untuk keseluruhan, masih menjadi perdebatan.
Setidaknya ada dua pendapat di kalangan para ulama. Dan upaya solutif yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Abdur Rahim dalam bukunya, al-Tafsir al-Nabawi; Khashaishuhu wa Mashadiruhu, adalah memaparkan kedua pendapat tersebut, sebelum kemudian mengajukan kritik dan menengah-nengahinya. Kritik dan penengah-nengahannya itu kemudian dianggap sebagai bentuk pendirian dan kesimpulan yang dinilai ideal.
Dua Perbedaan Pendapat
Secara umum, yang pertama, ialah pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad menafsirkan seluruh Al-Qur’an, tanpa terkecuali. Argumen pertama ini berasal dari Ibnu Taimiyah. Ia berpendapat berdasarkan redaksi ayat “litubayyina linnaasi maa nuzzila ilaihim”.
Apa yang menjadi argumen bagi Ibnu Taimiyah itu barangkali tampak tekstual. Yakni cukup dengan bersimpul dari isim maushul (maa) dalam ayat yang menunjukkan penyeluruhan. Bahwa yang ditafsirkan Nabi Muhammad itu memang seluruh apa yang telah diturunkan padanya (Al-Qur’an).
Sementara, di kubu seberang, terdapat pendapat yang berbeda. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak menafsirkan Al-Qur’an kecuali hanya sebagian kecil. Tokoh-tokoh penyokong dalam mazhab yang kedua ini diisi oleh nama-nama seperti al-Suyuthi dan al-Khoubi.
Hingga, di dalam pendahuluan kitab al-Mabani fi Nazhmi al-Ma’ani, ditemukan keterangan yang secara garis besar menyimpulkan. Bahwa di sana dan pada saat itu ada kategori orang-orang yang secara intelektual atau kultural sudah berbahasa Arab. Artinya, memang tidak membutuhkan adanya penjelasan detail atau tafsir Al-Qur’an dari Nabi Muhammad.
Misalnya saja seperti orang-orang Arab yang memang sudah lahir, tumbuh dan hidup di dalam ekosistem kearaban. Berikut emosionalitas kebahasaannya, maka orang-orang seperti ini agaknya tidak membutuhkan penjelasan panjang dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karena sudah bisa memahami maksudnya hanya dengan membaca kalimatnya.
Sumber Pendapat Kedua
Mula-mula, penulis memaparkan sekian poin yang menjadi tendensi pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad menafsirkan sebagian kecil dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa amunisi yang menjadi argumen kubu ini:
- Hadis dari Aisyah R.A.
Argumen pertama mereka adalah, riwayat al-Bazzar dari Aisyah. Di mana Aisyah sempat membuat pengakuan bahwa Nabi Muhammad hanya menafsirkan sebagian kecil dari Al-Qur’an. Itupun adalah hasil pengajaran langsung dari Malaikat Jibril.
- Peluang berpikir bagi umat
Bahwa thesis yang mengatakan Nabi Muhammad menafsirkan seluruh Al-Qur’an itu problematis. Juga, mengapa hanya sedikit yang ditafsirkan oleh Nabi. Itu menjadi motivasi bagi umat agar sisanya yang tidak tertafsirkan, menjadi bahan pemikiran bagi umat dan masa setelahnya.
- Doa Nabi Muhammad kepada Ibnu Abbas
Bahwa Nabi Muhammad pernah mendoakan secara spesial dan eksklusif kepada Ibnu Abbas. Agar oleh Allah, Ibnu Abbas dipahamkan tentang ta’wil (seluruh Al-Qur’an). Maka, doa untuk Ibnu Abbas ini nanti akan menjadi tidak spesial tatkala dihadapkan dengan thesis Nabi Muhammad telah menafsirkan seluruh Al-Qur’an kepada para sahabat.
Absolutisme Penafsiran Nabi
- Absolutisme penafsiran Nabi
Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan, seandainya dahulu Nabi memang sempat menafsirkan seluruh Al-Qur’an, niscaya tafsir Nabi itu akan sampai kepada masa kita hari ini. Kemudian, itu akan menjadi absolut dan mutlak. Padahal, kenyataan hari ini seolah masih menitahkan kepada orang-orang untuk saling berbeda pandangan soal tafsir Al-Qur’an. Maka, sampai di sini, thesis tersebut masih problematis.
- Akumulasi
Jika diakumulasikan, inti dari seluruh kandungan riwayat, bukti, dan jejak yang ditemukan itu menggariskan bahwa Nabi tidak menafsirkan seluruh Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebagian kecil saja.
Setelah menguraikan argumen kubu yang pertama, penulis beralih memaparkan apa-apa yang menjadi argumen kubu yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad menafsirkan seluruh Al-Qur’an. Di antaranya, pemahaman terhadap indikator yang ada pada Q.S. Al-Nahl: 44. Kemudian, orang-orang semacam Utsman bin Affan dan Ibnu Mas’ud itu mempunyai kebiasaan membaca, menghafal, dan memahami sepuluh ayat Al-Qur’an kepada Nabi. Dalam konsistensinya, mereka tidak akan beranjak ke sepuluh ayat berikutnya jika belum benar-benar “selesai” dengan sepuluh ayat pertama. Maka ini mengindikasikan jika Nabi Muhammad mengajarkan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada sahabat.
Argumen selanjutnya, kubu kedua ini berlogika, jikalau dalam memelajari fan-fan ilmu lain, seperti kedokteran, matematika, sains, dsb. itu membutuhkan penjelas lebih panjang dari sekedar rumus, maka apalagi kalua yang dipelajari itu adalah Al-Qur’an, maka niscaya akan lebih membutuhkan. Dan beberapa argumen lain, termasuk riwayat dari Ahmad dan Ibnu Majah, yang juga secara redaksional riwayat mengindikatorkan bahwa Nabi menafsirkan seluruh Al-Qur’an. (Abdurrahim, 1992, pp. 100-150)
Kritik Terhadap Argumen Kedua Kubu
Selanjutnya, setelah memaparkan inti-inti yang menjadi argumen oleh kedua kubu, penulis menyambung dengan mengajukan kritik terhadap beberapa bagian dari argumen-argumen tadi yang dinilai keropos. Di antaranya, penulis menangkap celah bahwa hadis Aisyah yang menjadi argumen kubu pertama, itu tidak sahih. Sebab di dalam proses transmisi hadis tersebut terdapat rijalu al-jarh wa al-ta’dil yang menurut Ibnu Katsir sampai membuat hadis berstatus munkar-ghorib.
Lalu, penulis juga mengajukan kritik terhadap yang menyimpulkan Nabi tidak menafsirkan seluruh Al-Qur’an. Bahwa yang perlu diketahui adalah metode penafsiran Nabi itu tidak hanya melalui mulut saja, akan tetapi memungkinkan pula Nabi menafsirkan secara aplikatif (‘amaliyah).
Terhadap argumen kubu kedua, penulis mengajukan kritik pula. Misalnya, terhadap argumen Ibnu Taimiyah dengan “litubayyina linnaasi maa nuzzila ilaihim”-nya, bahwa argumentisasi semacam itu tidak dapat dibenarkan. Sebab meski Nabi punya tanggungan untuk menjelaskan kepada umat apa yang diwahyukan, Nabi tetap memerhatikan konteks kebutuhan objek. Artinya, sangat mungkin juga jika Nabi hanya menafsirkan apa-apa yang menjadi kebutuhan umat saja.
Pendapat Yang Dipilih Penulis
Akhirnya, sampai juga pada segmen pendirian dan posisi penulis di tengah forum perdebatan dua kubu. Setelah lebih dulu memaparkan masing-masing dari argumentasi kedua kubu, penulis lalu mengambil langkah solutif, yakni memilih untuk mengampanyekan pendapat tengah-tengah. Bahwa, penulis tidak mengikuti pendapat yang mengatakan Nabi Muhammad menafsirkan sebagian kecil Al-Qur’an. Juga tidak mengamini pendapat yang mengatakan Nabi menafsirkan seluruh Al-Qur’an. Penulis berpendapat bahwa Nabi menafsirkan sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam hal ini, penulis sampai pada kemungkinan hikmah. Bahwa barangkali Allah sengaja memotivasi dan memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk memahami, memikirkan, dan menafsirkan sisa ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan oleh Nabi.
Untuk mendukung pendapatnya ini, penulis memilih dua tokoh yang menjadi representasi kekuatan pendapat ulama klasikdan kontemporer. Dari perwakilan ulama klasik, penulis menyadur keterangan yang pernah ditulis oleh Ibnu Jazi al-Kalbi dalam tafsirnya, al-Tanzil li ‘Ulumi al-Tanzil. Tepatnya pada kalimat Ibnu Jazi yang berbunyi, “waroda ‘ani al-nabiyyi katsirun min tafsiri al-qur’an fayajibu ma’rifatuhu”. Jelas, di sana Ibnu Jazi mengatakan “telah datang sebagian besar tafsir Nabi terhadap Al-Qur’an”.
Pendapat itu selaras dengan keterangan al-Dzahabi yang juga bermoderat dengan mengatakan bahwa Nabi menafsirkan sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an. Ini sesuai dengan bukti-bukti yang ditemukan dalam al-Shihah (kitab-kitab ensiklopedi hadis sahih). Dan yang terakhir, penulis menutup penguatan pendiriannya dengan mengutip kalimat dari Prof. Dr. Abdullah Syahatah, dengan kandungan substansi yang sama.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.