Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Apa yang Harus Diperhatikan dalam Menjelaskan Fikih?

Sumber: https://www.islampos.com/jenjang-pembelajaran-kitab-fiqih-250133/

Fikih merupakan salah satu dimensi ilmu keislaman yang penting dipahami oleh setiap orang. Dalam menjalankan kehidupan, fikih menjadi petunjuk agar setiap perbuatan sesuai dengan petunjuk agama. Hal ini sesuai dengan definisi fikih yang disampaikan oleh AW Khalaf (1992), yaitu ilmu yang mempelajari hukum syariah yang amaliah diambil dari dalil-dalil terperinci. Karena dipandang ilmu, fikih berisi teori atau konsep tentang perbuatan sesuai hukum syariah. Perbuatan tersebut menurut para ulama berhubungan dengan ibadah, muamalah, pernikahan, pewarisan, pengaturan harta benda, pidana, juga hubungan antar negara. Hal ini yang mendorong para pengajar dan penceramah menjadikan fikih sebagai tema utama dalam kajian yang disampaikannya. Kenyataan di lapangan, fikih tetap menjadi kajian menarik dalam konteks pengajian.

Fondasi pada pengajaran atau pengajian fikih adalah ilmu. Artinya, yang disampaikan atau diajarkan harus sesuai dengan teori yang jelas dan sahih, tentunya yang merujuk pada kitab yang dianggap menjadi rujukan muktamad. Banyak kitab yang dijadikan rujukan standar dalam ilmu fikih. Kitab-kitab ini telah banyak dirujuk oleh pengkaji bahkan banyak yang telah diterjemahkan. Kenyataan ini akan memberikan peluang bagi masyarakat untuk membaca dan mengkaji literatur fikih baik yang berbahasa Arab maupun yang telah diterjemahkan.

Terkait dengan pengajaran atau pengajian fikih, apa saja yang harus diperhatikan? Berikut uraiannya.

1. Tema yang dibahas dirujuk pada kitab tertentu.

Seorang pengajar atau  penceramah harus mampu mengaitkan kajian atau pertanyaan pada teks yang tertera pada kitab fikih. Dalam hal ini, ia mampu untuk membaca teks pada kitab fikih untuk menunjukkan validitas pada materi yang dikaji. Misalnya saja, pada fikih Syafi’iyah, penceramah dapat menggunakan Kasyifah al-Saja karya al-Nawawi al-Bantani, Fath Al-Qarib karya Ibnu al-Qasim, Fath al-Mu’in karya al-Malibari, Al-Yaqut al-Nafis karya al-Syathiri, Fath Al-Wahhab, al-Iqna, atau mungkin pada kitab yang lebih luas  penjelasannya, sebut saja misalnya pada Kanz Al-Raghibin karya al-Suyuthi, dan sebagainya.

Baca Juga  Buya Hamka dan Proyek Di Balik Penyusunan Tafsir Al-Azhar

2. Penjelasan teks

Teks dijelaskan dengan menyebutkan bahasa asli (Arab) pada teks tersebut untuk meyakinkan bahwa teks ada di kitab kemudian diberi terjemah. Kenapa teks asli dibacakan? Tentunya hal ini dapat menguatkan persepsi jamaah bahwa penceramah mumpuni dalam bidang kajian keislaman. Sebab, kajian keislaman tidak bisa lepas dari kemampuan membaca teks berbahasa Arab. Sedapat mungkin, kemampuan ini harus dikuasai oleh penceramah atau pengajar.

Hal ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syafii (1997) dalam Al-Risalah menjelaskan bahwa pemahaman terhadap bahasa Arab sangat penting karena bahasa tersebut mencerminkan budaya dan pemikiran masyarakat Arab pada masa pewahyuan yang nantinya mempengaruhi penetapan hukum.

Banyak istilah dalam fikih yang memiliki makna khusus dalam bahasa Arab. Pemahaman yang kurang tepat terhadap istilah-istilah ini dapat menyebabkan kesalahan dalam menetapkan hukum. Asy-Syaukani (1999) dalam Irsyad al-Fuhul menyebutkan bahwa bahasa Arab adalah alat untuk memahami ilmu kajian fikih dan peranannya sangat vital dalam menentukan hukum.

Dengan menguasai bahasa Arab, seorang peneliti fikih dapat memastikan bahwa penafsiran hukum tidak terdistorsi oleh pengaruh bahasa lain atau terjemahan yang kurang tepat. Ini penting untuk menjaga kemurnian syariat Islam dari penyimpangan. Ibn Taymiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa menyebutkan bahwa bahasa Arab adalah benteng syariat dan pemahaman terhadapnya adalah menjadi kompetensi yang wajib dimiliki.

3. Hubungkan antara inti pertanyaan dengan teks yang diperoleh.

Penguasaan terhadap tema pada fikih menjadi kompetensi pengajar atau penceramah untuk menjawab pertanyaan. Dalam hal ini, pengajar atau penceramah dapat mengaitkan tema pada kitab matan, syarah, atau hasyiyah. Ketiga hal ini menjadi produk penulisan yang sudah menjadi tradisi para ulama. Misalnya, dalam fikih Syafiiyah, penceramah dapat membuka matan Ghayah al-Taqrib karya Abu Syuja’, diperluas pada Fath Al-Qarib karya Ibnu Qasim, juga dilanjutkan pada Hasyiyah Al-Bajuri.

Dalam teks-teks fikih, seringkali ditemukan nas (teks) yang memerlukan pemahaman konteks untuk bisa diterapkan dengan tepat. Ibn Qudamah (1997) dalam Al-Mughni menguraikan berbagai kasus di mana pemahaman terhadap konteks dan nuansa bahasa Arab membantu menjelaskan hukum tertentu. Misalnya, perintah dalam Al-Qur’an dan Hadis seringkali memiliki makna implisit yang hanya bisa diuraikan dengan menguasai gaya bahasa Arab. Tanpa pemahaman yang mendalam, bisa terjadi salah tafsir yang berdampak pada ketidaktepatan dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, keterkaitan ini menjadi ciri validitas jawaban yang dihidangkan untuk jamaah sehingga mereka bisa memahami atau menyimpulkan sendiri.

Baca Juga  Penafsiran Hamka tentang Kepemimpinan yang Adil dan Amanah

4. Perbedaan pemikiran mazhab.

Dalam kajian fikih, sering ditemukan ikhtilaf. Biasanya ditemukan wa ikhtalafa …, atau fihi ikhtilaf, atau dengan teks yang sejenis. Perbedaan atau ikhtilaf ini terkadang muncul dalam satu mazhab, misalnya dalam fikih Syafiiyah ditemukan ikhtilaf antara imam al-Rafi’i dengan imam al-Nawawi, atau Ibnu Hajar al-Haitami dengan al-Ramli.  Pada lintas mazhab, muncul perbedaan antar imam mazhab pada tema tertentu,misalnya perbedaan pendapat antara Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Atau perbedaan antara ahl al-hadits dengan ahl-ra’y.

Ikhtilaf ini dapat dijelaskan dengan merujuk pada kitab atau teks yang didalamnya terdapat konteks ikhtilaf. Hal ini cocok dilakukan pada penanya yang mengungkapkan pertanyaan yang mengandung objek kajian fikih yang berbeda pendapat. Sebagai dasar penjelasan ikhtilaf antar ulama dalam satu mazhab, dapat ditemukan misalnya pada kitab I’anah al-Thalibin karya Syatha atau untuk lintas mazhab dapat ditemukan secara panjang lebar pada kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah karya al-Jazairi.

Tentunya penanya pun memiliki latar belakang yang beragam. Sebagai respons dari penanya yang awam, pengajar atau penceramah cukup mengemukakan intisari dari jawaban yang dibutuhkan tidak mesti disebutkan dalil secara rinci dan rujukannya.Adapun terhadap penanya yang mengemukakan dalil atau informasi ikhtilaf, pengajar atau penceramah dapat mengemukakan dalil secara rinci dengan rujukan yang digunakannya.

Wallahu A’lam