Hermeneutika barang kali adalah hal yang samar terdengar di telinga kita, terutama di kalangan masyarakat awam. Namun di kalangan mahasiswa tafsir atau penggiat kajian Islam kontemporer, istilah ini sudah cukup akrab. Hermeneutika bahkan telah menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran di jurusan ilmu al-Quran dan tafsir pada kampus-kampus Islam, khususnya di UIN Jakarta, UIN Yogyarakarta dan UIN Bandung.
Apa itu Hermeneutika?
Hermeneutika berasal dari kata “hermeneuein” yang berarti menafsirkan. Dalam kajian yang populer, istilah hermeneutika sering dikaitkan dengan salah seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang bernama Hermes. Tugas daripada sosok ini adalah menyampaikan pesan dewa-dewa langit kepada manusia. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita dapat menyebut Hermes sebagai “juru bicara dewa”. Dalam Islam, nama Hermes sering dikaitkan dengan salah seroang nabi, yakni Nabi Idris AS., orang yang pertama kali mengenal tulisan, teknik dan kedokteran.
Sebagai hasil produksi “Barat”, hermeneutika pada awalnya hanya diterapkan pada Bible. Penerapan itu didorong oleh rasa curiga pemikir-pemikir Kristen terhadap kitab sucinya yang dianggap memiliki banyak pengarang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan banyaknya teori mengenai penulisan Bible. Oleh karenanya, para pemikir Kristen merasa terpanggil untuk membuktikan otentisitas Bible dengan melakukan kritik sejarah serta menelusuri kondisi penulis teks.
Meski demikian, hermeneutika yang sebelumnya hanya berkutat pada teks-teks keagamaan telah berkembang menjadi alat untuk memahami banyak teks, baik itu teks kuno, teks sastra ataupun teks-teks lainya. Bahkan yang lebih mutakhir, hermeneutika telah menjadi pisau analisis untuk membaca “teks” yang bernama realitas. Bagi mereka, realitas adalah “teks” yang juga harus dibaca. (Komarudin Hidayat: 2002)
Masuk dalam Wacana Keislaman
Kajian tentang hermeneutika bisa dibilang adalah kajian yang cukup viral dan banyak digandrungi dan diminati. Hermeneutika menjadi barang yang seksi, sehingga banyak pihak merasa tertarik untuk membahasnya, tak terkecuali para cendekiawan muslim. Banyak dari cendekiawan muslim yang karena tertarik pada kajian tersebut, mencoba untuk memasukkannya pada tradisi penafsiran al-Quran.
Telah banyak cendekiawan-cendekiawan muslimyang sudah mencoba menerapkan metode ini untuk menafsirkan al-Quran. Sebut saja di antaranya ialah Fazlur Rahman (pemikir Islam Pakistan), Mohammed Arkoun (pemikir Islam Aljazair), Muhammad Syahrur (pemikir Islam asal Suriah), Nasr Hamid Abu Zaid dan Hassan Hanafi (pemikir Islam asal Mesir), serta Khaled Abou El Fadl (pemikir Islam asal Kuwait). Adapun dalam konteks Indonesia, kita mengenal nama-nama seperti Amin Abdullah, Yusuf Rahman dan Sahiron Syamsuddin.
Mereka adalah segelintir cendekiawan muslim yang mencoba memasukkan hermeneutika sebagai salah satu alat untuk menafsirkan al-Quran. Hal ini dibangun di atas kesadaran bahwa hermeneutika memiliki kelebihan dan memberikan tawaran yang tidak dimiliki oleh khazanah ilmu al-Quran dan tafsir klasik.
Namun usaha itu tidak menemukan jalan yang mulus. Usaha untuk memasukkan hermeneutika dalam tradisi penafsiran terhadap al-Quran mengundang pro dan kontra dari internal umat Islam. Pihak menerima memiliki alasannya tersendiri, begitupun dengan yang menolak. Pada tulisan ini kita akan lebih memberikan catatan atas argumen pihak yang kontra terhadap hermeneutika.
Argumen Penolakan
Ada banyak alasan yang umumnya digunakan oleh umat Islam dalam menolak hermeneutika. Fahruddin Faiz, dosen filsafat UIN Sunan Kalijaga, membagi penolakan terhadap hermeneutika tersebut menjadi dua: penolakan yang didasarkan pada rasa phobia (ketakutan) dan penolakan yang didasarkan pada argumen ilmiah. (Hermeneutika Al-Quran, hal. 32)
Mereka yang phobia terhadap hermeneutika, umumnya dalam menolak hermeneutika menggunakan alasan bahwa metode penafsiran ini berasal dari Barat dan awalnya diterapkan pada Bible, kitab suci umat Kristiani. Karena itu, bagi kelompok ini, hermeneutika hanya cocok pada Bible dan tidak pada al-Quran. Kemudian karena berasal dari Barat, metode ini dinilai mengalami ‘pem-barat-an’. Masuknya hermeneutika dalam wacana Islam, dianggap hanya akan memberi warna Barat pada penafsiran al-Quran. Singkatnya, metode ini dianggap telah bias ideologis.
Alasan lain yang juga digunakan oleh kelompok ini dalam menolak hermeneutika adalah karena di dalam Islam telah ada ilmu tafsir. Metode ini dinilai masih terus relevan, bahkan hingga dengan saat ini. Karena itu umat Islam dalam anggapan mereka tidak lagi memerlukan hermeneutika. Penggunaan hermeneutika dikhawatirkan hanya akan mengacau-balaukan sendi-sendi Islam dan merusak akidah umat. Lagi pula, masih menurut mereka, al-Quran sudah final dan tidak berubah-ubah. Berbeda dengan Bible yang belum final dan masih berubah-ubah. Al-Quran adalah kitab yang terjaga otentisitasnya, sedangkan Bible tidak.
Adapun untuk penolakan dari segi ilmiah, mereka menolak hermeneutika karena dalam proses penafsirannya metode ini dinilai tidak mengikuti prosedural. Prosedural yang dimaksud ialah seperti yang diterapkan oleh ulum’ al-Quran; melakukan penafsiran ayat dengan ayat, lalu ayat dengan sunnah Rasulullah, kemudian ayat dengan penafsiran sahabat, dan tabi’in. Kemudian di sisi lain, yang juga dikritik dari hermeneutika oleh pihak ini adalah penafsirannya yang dinilai sangat simpel dan umum. Tidak memberikan penjelasan yang rinci yang mengarahkan mufassir untuk mendapatkan penafsiran yang representatif dan benar. (Hal. 36)
Menjawab Penolakan
Dalam menjawab kritik-kritik tersebut, saya kira Fahruddin Faiz memiliki jawaban yang pas. Ia misalnya mengatakan bahwa sesuatu itu (baca; pemikiran) dapat menjadi bias jika berada di tataran produk. Dalam kasus hermeneutika, yang sebenarnya bias itu adalah produk yang dihasilkannya. Padahal hermeneutika tidak hanya tentang produk, tapi juga sebagai alat. Dalam hal ini alat untuk memahami. Dalam kapasitasnya sebagai alat, yang menentukan ia bias atau tidak adalah yang menggunakannya. Jadi, ketika ia digunakan sebagai alat oleh pemikir Islam dalam menafsirkan al-Quran, rasanya tidak mungkin ia mengalami bias nilai Barat yang dinilai berasal dari Kristen.
Adapun untuk tuduhan bahwa metode penafsiran ini tidak mengikuti prosedural dalam melakukan penafsiran, Fahruddin mengatakan itu tidak benar. Hal ini dapat dilihat dengan adanya istilah “intertekstualitas” yang berkembang dalam hermeneutika (Fahruddin: 2015). Intertekstualitas meniscayakan dialog atau kesaling-sapaan antara teks-teks yang berkaitan. Dalam membahas ayat tentang wanita tentu ia akan juga melihat ayat-ayat lain yang membahas atau ada kaitannya dengan wanita.
Hermeneutika Menawarkan Kontekstualisasi
Salah satu yang menjadi keunggulan dan dapat menjadi alasan kita untuk menerima hermeneutika ialah metode penafsiran ini menawarkan kontekstulisasi. Hal itu akan membantu Islam dalam mewujudkan klaimnya sebagai agama yang ajarannya pasti selalu sesuai dengan zaman kapan saja dan tempat di mana saja.
Bagaimanakah kontekstuliasi yang dimaksud? Kontekstuliasasi yang dimaksud adalah membaca ayat al-Quran dengan melihat konteks sejarah pada saat ia diturunkan dan kemudian membawa ayat itu ke masa sang penafsir hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zamannya. Inilah yang tidak ada pada ulum’ al-Quran dan ilmu tafsir klasik. Kedua ilmu itu hanya berhenti pada tataran teks dan konteks, tidak sampai pada tahap kontekstualisasi.
Dengan demikian, apa alasan kita masih menolak hermeneutika? Saya kira tidak ada. Kita sangat bisa untuk menerimanya. Tentunya dengan beberapa modifikasi dan menyesuaikan dengan “prinsip” dan nilai yang dipegang oleh agama Islam. Wallahu a’lam
Leave a Reply