Sering kita temui beberapa pertanyaan mengenai perbedaan lebih utama man antara memakai cadar atau jilbab?. Beberapa diskusi publik juga sering menanggapi kegelisahan tersebut, salah satunya adalah FMTM (Forum Mahasiswa Tafsir Muhammadiyah). FMTM menggelar diskusi publik dengan tema “Jilbab dalam Konteks Indonesia: Perspektif Al-Qur’an, Budaya, Gender, dan Hukum di Indonesia”.
Sebelum masuk pada pembahasan, kita ketahui terlebih dahulu bahwa antara jilbab dan cadar itu jelas berbeda. Dalam segi penerapanya jilbab tidak menutupi wajah tetapi jikalau cadar itu menutupi wajah.
Cadar, Jilbab dan Masyarakat Indonesia
Asumsi-asumsi keliru sebagian masyarakat kita adalah tentang pandangan bahwa muslimah yang tampil menggunakan cadar dicap sebagai wanita yang memilki pemahaman agama yang mendalam. Padahal jilbab atau cadar itu bukan menjadi satu-satunya tolak ukur penilaian sikap, maupun akhlak kita.
Pendapat lain mengatakan, mereka terlalu berlebih-lebihan dalam beragama, atau membuat lebih sulit hal yang dimudahkan Allah swt. Karena dalam fikih dikatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah termasuk aurat.
Pendapat masyarakat Indonesia yang tidak wajar mengenai jilbab adalah mereka mengatakan bahwa jilbab itu sudah menjadi budaya Indonesia dan mewajibkan masyarakat Indonesia memakai jilbab. Selain jauh dari agama, pendapat ini juga tidak sesuai dengan hukum Pancasila di Indonesia yang menekankan adanya beragam suku, ras, dan agama.
Kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, tidak ada yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kekurangan wanita bercadar menurut saya adalah mereka sering kali bersikap tertutup dengan orang lain. Selain itu wajah yang tertutup juga akan menyulitkan orang lain untuk mengenalnya, karena wajah kita termasuk salah satu identitias yang harus diperlihatkan.
Jilbab Perintah, Cadar Bukan Perintah!
Harus kita ketahui bahwa perintah cadar itu tidak ada dalam al-Qur’an, melainkan hanya budaya yang ada di Arab. Berbeda dengan jilbab yang memang jelas termaktub dalam Q.S Al-Ahzab: 59. Di sana diterangkan dengan term jalabihinna (jilbab).
Kyai Cepu dalam diskusi FMTM mengatakan, “Sabda Nabi, seluruh tubuh aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Kok muka malah ditutup? Inilah yang dinamakan ghuluw”. Padahal ghuluw dilarang oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Larangan berbuat ghuluw sendiri termaktub dalam Q.S An-Nisa’: 171.
Kyai Cepu juga menegaskan kepada kadernya di persyarikatan Muhammadiyah, khususnya IMM, bahwa IMMawati yang bercadar harus dicopot cadarnya, karena tidak sejalan garis perjuangan persyarikatan. Tentu juga tidak sejalan dengan al-Quran wa as-sunnah al-maqbullah.
Di dalam closing statement-nya, Dr. Abdul Muid juga menambahkan bahwa bercadar dapat mengurangi kebebasan kita berekspresi serta dalam kadar tertentu dapat menjadi salah satu bentuk penghianatan kepada misi yang dibawa Rasulullah saw.; kesetaraan, pembebasan dan pembelaaan kepada kaum yang lemah.
Lalu closing statement dari Kyai Cepu bercerita tentang pertanyaan K.H Ahmad Dahlan kepada anak-anak perempuan di Muhammadiyah. Di mana Ahmad Dahlan bertanya, apakah tidak malu jika aurat kalian dilihat oleh kaum lelaki? Pertanyaan tersebut dijawab serentak bahwa mereka akan sangat malu kalau itu terjadi. Lalu Ahmad Dahlan memberikan solusi untuk terus belajar dan menjadi dokter perempuan. Sehingga ada dokter kaum perempuan untuk perempuan sendiri.
Intinya jilbab merupakan perintah, daan cadar bukan perintah. Jadi, ketika kita ingin tampil menggunakan cadar dan diniatkan untuk ibadah, inilah yang disebut ghuluw. Setiap yang ghuluw bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Namun, silahkan saja ketika cadar hanya diniatkan sebagai sebuah budaya.
Jilbab Untuk Minghindari Pelecehan Seksual?
Yulianti Muthmainnah menjawab pertanyaan tersebut dengan tegas: hoax!. Karena faktanya kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja. Tetapi, semua kalangan wanita bisa menjadi korban kekerasan seksual. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, jenazah wanita, bahkan wanita berjilbab dan bercadar sekaligus.
Kekerasan seksual itu terjadi karena ada sebuah nafsu dari seorang lelaki yang tidak dilampiaskan kepada wanita yang sesuai. Kalau kata Kyai Cepu, bahwa wanita bercadar itu juga memiliki nilai untuk merendahkan kekuatan nafsu seorang lelaki.
Padahal lelaki tak selemah itu. Kita bisa melihat di pantai dan beberapa spot, bahwa di sana banyak wanita yang tidak memakai jilbab bahkan menggunakan baju yang tidak wajar. Tapi semua wanita di sana masih tetap aman dari kejahatan seksual. Artinya semua itu tergantung situasi dan kondisi yang dilakukan.
Menurut saya, untuk menanggulangi pelecehan seksual itu bukan berarti kita menutup diri dari semua orang. Bisa jadi malahan bercadar itu menjadikan sebuah tantangan kepada para pelaku. Sebab pelecehan seksual juga sering terjadi pada polwan yang mana notabenenya sudah mempunyai senjata tajam. Artinya para pelaku merasa lebih bersemangat dengan tantangan tersebut.
Cadar, Jilbab, dan Kebebasan Beragama
Harus selalu kita ingatkan bahwa Islam sendiri mengajarkan kebebasan dalam beragama, apalagi hanya masalah penyikapan dalam ajaran agama. Kebebasan beragama sendiri termaktub dalam Q.S Al-Baqarah: 256. Allah swt. berfirman “Tidak ada paksaan dalam din (beragama/masalah iman)”.
Menurut saya, semua orang di dunia ini punya hak untuk dirinya berekspresi. Selagi dirinya tidak merugikan dan menyinggung orang lain. Itu sah-sah saja. Salah satu halnya mengenai mau dia bercadar, berjilbab, sampai yang tidak memakai jilbab itu punya hak-hak sendiri.
Terkecuali jika mereka terikat dalam sebuah ikatan maupun kelompok tertentu. Tentu mereka mempunyai peraturan serta konsepnya tersendiri. Contohnya jika kita mengaku sebagai kader Muhammadiyah yang menganjurkan untuk memakai jilbab bukan cadar. Seharusnya kita harus mengikuti peraturan tersebut. Karena jika kita tidak mengikutinya itu juga merupakan salah satu penyinggungan kepada sebuah ikatan.
Intinya penulis ingin menyampaikan bahwa jilbab adalah perintah dan cadar bukan perintah. Semua tergantung niatnya. Jika ingin bercadar bukan untuk beribadah melainkan untuk budaya, silahkan. Karena pada intinya ibadah itu mengatasnamakan Tuhan. Jadi tidak bisa semena-mena dan sekehendak kita.
Editor: Bukhari
Leave a Reply