Tafsir al-Qur’an di Indonesia selalu menarik untuk di kaji. Hal itu disebabkan karena para mufassir tidak hanya di tuntut untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. Tetapi juga berusaha untuk mengkontekstualisasikan antara makna teks dengan tempat dimana mufassir berada.
Penafsir tidak akan bisa terlepas dari konteks sosial-budaya ketika dirinya menafsirkan al-Qur’an. Produk penafsirannya merupakan sebuah respon sosial yang di kemas dalam sebuah kitab tafsir. Hal itulah yang membuat tafsir al-Qur’an di Nusantara menjadi unik dan menarik untuk dibahas. Salah satunya adalah Tafsir Al-Ibriz
Ervan Nurtawwab dalam “Tafsir Al-Qur’an Nusantrara Tempo Doeloe” mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang terjadi pada suatu kultur akan menghasilkan setidaknya tiga corak penafsiran yang berbeda seiring dengan perbedaan kultur historis dan sosiologisnya ketika mencoba memahami al-Qur’an.
Pertama, penafsiran dan jenis teks tafsir yang dihasilkan sesuai dengan tafsiran dalam struktur budaya dan bahasa pada kultur asal. Kedua, penafsiran dan jenis tafsir yang dihasilkan mengalami penyesuaian dengan struktur teks dan budaya masyarakat lokal. Ketiga, penafsiran dan jenis tafsir yang dihasilkan mengalami proses lokalitas secara signifikan. Pada kategori ini, terkadang ada upaya menutup diri dari derasnya pengaruh kultur Arab dan mengupayakan penafsiran menurut ideologi dalam struktur budaya dan bahasa lokal.
Tafsir al-Ibriz
Tafsir al-Ibriz ditulis oleh Bisri Mustofa seorang Kiai Kharismatik pendiri pondok pesantren Raudhatu at-Thalibin Rembang Jawa Tengah. dia dilahirkan di Rembang pada tahun 1915. Adapun alasan penulisan tafsir al-Ibriz adalah dalam bentuk upaya khidmah Bisri terhadap kitab suci al-Qur’an, karena pada saat itu masyarakat muslim masih kesulitan dalam memahami ayat-ayat suci al-Qur’an. Sehingga Bisri mencoba untuk menulis terjemah dan tafsir al-Qur’an menggunakan bahasa jawa khas pesantren (jawa pegon).
Dalam bentuk upaya pemahaman makna al-Qur’an pada masyarakat, dia menambahkan keterangan-keterangan tertentu yang berkaitan dengan ayat agar mudah dipahami oleh para pembacanya, yang mana pada waktu itu masih sangat kental dengan kultur dan budaya lokal. Fejrian Yazdajird Iwanebel dalam artikelnya “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa” mengatakan keterangan-keterangan tersebut terdapat 5 macam. Pertama,“Tanbih” Jika keterangan tersebut bersifat peringatan. Kedua, “faidah” Jika keterangan tersebut bersifat irsyad, amaliyah, mauidhoh, dan tamsil. Ketiga, “Muhimmah” Jika hal baru yang berkaitan dengan sosial keilmuan ataupun tentang asbabun nuzul. Keempat, “Al-Qissoh” Selain itu terdapat qissoh (kisah) dan hikayat. Kelima “Mujarrob” Keterangan amaliyah yang bersifat mistis.
Analogi Pemahaman
يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ ٱلْجَمْعِ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ ٱلتَّغَابُنِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ وَيَعْمَلْ صَٰلِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّـَٔاتِهِۦ وَيُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Bisri Mustofa dalam tafsir Al-Ibriz mengatakan bahwa allah mengumpulkan para manusia pada hari perkumpulan (hari kiamat) yaitu hari taghobun (hari dimana orang-orang mukmin merugikan orang-orang kafir) atau (hari dimana orang mukmin menerima keuntungan dari orang-orang kafir). Barang siap yang beriman kepada allah dan mengerjakan amal sholeh, allah akan menghapus amal yang buruk dan allah akan memasukannya ke surga yang dibawahnya mengalir sungai. Mereka kekal didalamnya selamanya. Dan inilah keberuntungan yang agung.
Keterangan: Allah ta’ala itu menyediakan jatah di surga berdasarkan jumlah umat manusia seluruh alam. Dari Nabi Adam hingga hari kiamat. Misal jumlah manusia adalah 100 maka jatahnya juga 100, meskipun yang masuk surga hanya 50. 50 orang itu selain menerima jatahnya sendiri juga menerima jatah orang-orang yang tidak masuk surga. Inilah yang dinamakan hari taghobun.
Kesimpulan
Dalam menjelaskan makna taghobun Bisri Musthofa memberikan sebuah contoh Kamu hendak mempunyai acara resepsi, teman-teman yang kamu undang berdasarkan catatan berjumlah 100, semua persiapan disiapkan juga untuk 100 orang, nasinya, satenya, gulenya, perkedelnya, telurnya, cuci mulutnya, buah-buahan dan lain sebagainya, meskipun yang hadir 50 padahal sudah disiapkan untuk 100 orang maka seluruh jatah diberikan untuk 50 orang semuanya. Jadi akhirnya 50 orang itu selain mendapatkan apa yang menjadi jatah mereka sendiri, tetapi juga mendaptkan jatah yang tidak hadir. Inilah yang dinamakan hari taghobun.
Upaya Bisri Mustofa dalam memberikan pemahaman kepada pembacanya pada konteks waktu itu sangat pandai dan cerdik. Bagaimana tidak selain menafsirkan, dia juga memberikan sebuah analogi yang mana struktur teks menyesuaikan dengan konteks lokal pada waktu itu. Sehingga mudah dipahami dan sangat menampakkan karakteristiknya sebagai tafsir Nusantrara.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.