Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Alasan dan Urgensi Kontinuitas Penafsiran Al-Qur’an

kontinuitas penafsiran
Sumber: https://drawingmatter.org

Al-Qur’an merupakan salah satu petunjuk untuk seluruh umat manusia, ayat-ayat yang tercantum di dalamnya bersumber dari; Allah, sifatnya valid, dan tidak akan ada satu orangpun yang mampu merubahnya. Pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an tidak bisa jika sebatas dipahami secara tekstual atau harfiah saja. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kontinuitas penafsiran sebagai usaha untuk memahami al-Qur’an.

Penafsiran yang diperlukan bukan penafsiran yang sebatas mengikuti pendapat pribadi atau hawa nafsu saja. Tetapi juga sangat diperlukan adanya metodologi dan keilmuan yang mendasari penafsiran tersebut. Para sahabat yang hidup pada zaman nabi banyak yang telah menyaksikan; serta mengalami langsung situasi dan kondisi ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga, hal tersebut bisa membantu mereka untuk memahami isi kandungan al-Qur’an secara benar dan utuh.

Penafsiran di Zaman Nabi

Sejak zaman Nabi Muhammad, sahabat, dan tabi’in, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, sangat disayangkan pada masa itu riwayat-riwayat penafsiran masih terbengkalai, belum ada pembukuan terkait riwayat tafsir. Melihat  hal itu, al-Thabari merasa prihatin dan  akhirnya al-Thabari berusaha mengumpulkan riwayat-riwayat tafsir para sahabat dan tabi’in .

Menurut sejarahnya  al-Thabari merupakan mufasir pertama kali yang berhasil menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Dengan usahanya yang begitu luar biasa akhirnya beliau berhasil membukukan kitab tafsir yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang pertama kali ada diantara 8 kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang ada saat ini.

Seiring berjalannya waktu, di era klasik semakin banyak tokoh yang berusaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan membukukan kitab-kitab tafsir. Masing-masing kitab tafsir mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Akan tetapi, meskipun jumlah kitab tafsir klasik sudah terhitung banyak, nyatanya sampai era kontemporer masih banyak tokoh yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

Baca Juga  Fazlur Rahman: Menginterpretasi Substansi Etik Legal dalam Al-Qur'an

Urgensi Kontinuitas Penafsiran

Dengan demikian, penting kiranya seseorang mengetahui alasan mengapa al-Qur’an perlu terus menerus ditafsirkan. Menurut Amina Wadud salah satu mufasir era kontemporer, tidak ada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya definitif (pasti). Globalisasi yang melanda dunia menyebabkan adanya perubahan pada kehidupan umat Islam. Banyak persoalan yang dianggap baru dan belum pernah ditemukan dimasa sebelumnya. Persoalan-persoalan tersebut akhinya mendorong adanya rekontruksi paradigma penafsiran  atau bisa disebut juga dengan usaha menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an di era kontemporer dengan model baru. 

Al-Qur’an menjadi solusi dari berbagai persoalan yang terjadi dikalangan umat Islam di setiap masa. Oleh karena itu, jika penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an hanya jalan di tempat saja dengan hanya berlandaskan kepada tafsir klasik, maka tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada di era kontemporer ini. Sehingga kontinuitas penafsiran dibutuhkan.

Penafsiran Kontemporer

Karakteristik penafsiran para mufasir era kontemporer meliputi dua hal, yaitu ciri khas dan corak penafsiran. Ada beberapa ciri khas penafsiran kontemporer diantaranya sebagai berikut:

  1. Didalamnya tidak mengandung kisah israiliyat
  2. Terbebas dari hadis palsu (hadis maudhu’)
  3. Menampakkan keindahan bahasa
  4. Menyatukan teori ilmiah dengan al-Qur’an
  5. Memadukan riwayat yang benar dan  pemikiran (nalar) yang bagus

Sedangkan,  corak dari penafsiran kontemporer meliputi, corak ilmi, corak madzhabi, corak ilhadi, corak adabi al-Ijtima’i, dan corak falsafi.

Metode Penafsiran Kontemporer

Adanya metode-metode dan usaha  baru untuk menafsirkan al-Qur’an di era kontemporer sama sekali  tidak bermaksud untuk melemahkan penafsiran para mufasir era klasik. Keduanya memiliki maksud yang sama yaitu memahami al-Qur’an. Jadi, tidak bisa dibenarkan jika ada yang mengatakan bahwa penafsiran era klasik adalah penafsiran yang salah dan yang paling benar adalah penafsiran era kontemporer.

Baca Juga  Fadil Salih al-Samarra’i: dari Ateis Sampai Mengarang Kitab Tafsir

Penafsiran era kontemporer disebut juga dengan modernisasi atau pembaruan, karena penafsiran yang dilakukan oleh para tokoh kontemporer ini bertujuan  untuk menghasilkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang lebih sesuai dengan situasi masa kini. Metode menafsirkan al-Qur’an yang ditawarkan oleh para cendikiawan era kontemporer sangatlah beragam, contohnya Fazlur Rahman dengan teori double movement atau gerak ganda.

Selain itu itu masih banyak mufasir kontemporer lainnya, seperti Abdullah Saeed yang merupakan murid dari Fazlur Rahman. Ia melanjutkan metode tafsir kontekstual Fazlur Rahman dan menghasilkan karya yang berjudul “Interpreting the Qur’an: toward a contemporary approach. Bint al-Syati’ dengan pendekatan sastra yang termuat pada karyanya Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-karim, Muhammad Abid al-Jabiri memiliki metode tartib nuzuli, corak tarikhi (historis) yang termuat pada karyanya Fahm al-Qur’an al-Karim: al-Tafsir al-Wadih Hasb Tartib al-Nuzul, dan masih banyak lagi.