Perubahan zaman yang terus berkembang menimbulkan persoalan yang terus berkembang pula dalam umat Islam. Inilah yang dipahami Muhammadiyah untuk penting adanya pembaharuan (tajdid). Terutama di tengah kondisi umat yang berada dalam keragaman, pemahaman fiqih atau hukum Islam yang diamalkan umat Islam harus dapat diperbaharui secara moderat. Sehingga dapat menghasilkan fiqih baru yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Hal ini yang disampaikan oleh Prof. Dr. Al Yasa’ Abu Bakar, dalam Seminar Nasional sesi kedua Munas Tarjih ke-31 yang digelar pada Minggu (12/13).
Ciri Tajdid yang Moderat
Tajdid (pembaharuan) menurut Prof. Al Yasa’ mempunyai dua makna: Pertama, upaya-upaya untuk menyesuaikan (mengubah) pemahaman atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (nash yang zhanni dilalah), dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan ilmiah dan tekhnologi. Kedua, Mengubah keadaan (adat) umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
“Jadi kalau kita sebut tajdid atau pembaharuan itu ada dua sisi, yaitu pertama memperbaharui atas pemahaman al-Qur’an dan Sunnah. Dan yang kedua mengubah adat dan kebudayaan kita agar sejalan dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah.”, jelasnya.
Beliau menjelaskan ciri pemahaman agama yang tajdid sekaligus berciri moderat itu ada 9: Pertama, dasar metodenya adalah akademik ilmiah.
“Dasar metode yang digunakan pada kalangan mazhabi itu bukan akademik ilmiah tetapi pemahaman yang internalisasi. Kalau pada salafi internalisasi itu belum sistematis sedangkan pada mazhabi itu sudah sistematis”, imbuhnya.
Kedua, metode yang dipakai adalah lughawiyah, ta’liliah dan istishlahiah.
“Namun Abid Al-Jabiri menganjurkan pada pemahaman bayani, burhani dan irfani. Sedangkan lughawi, ta’lili dan istishlahi itu masih berada pada burhani. Sehingga kita masih memerlukan contoh-contoh pemahaman fiqih yang dapat dihapahmi secara burhani”, imbuhnya.
Ketiga, orientasinya tidak lagi kepada masa lalu tetapi sudah berubah pada masa sekarang bahkan ke masa depan. Keempat, cakupan isi yang dihasilkan bersifat padu, sistematis dan tidak bersifat parsial.
Kelima, ukuran kebenarannya beragam, tanawwu’ (plural / ikhtilaf) dan tidak tunggal. Maka, ciri yang keenam beliau menjelaskan yaitu sistematikanya terbuka.
“Terbuka dalam arti bisa ditambah, bisa dikembangkan dan ini sudah terjadi di Muhammadiyah. Ya ada fiqih tata kelola, ada fiqih tentang air, ada fiqih tentang agraria, ada fiqih tentang informasi dan fiqih-fiqih lainnya”, imbuhnya.
Ketuju, beliau menjelaskan penghargaan atas pemahaman sahabat adalah sama dengan ijtihad ulama lainnya. Artinya, pemahaman sahabat bukanlah pemahaman yang terbaik dalam arti tidak ada yang bisa menandingi pemahaman yang lain.
Kedelapan, hubungannya dengan ilmu pengetahuan, ciri tajdid yang moderat cenderung menerima dan memanfaatkannya dengan maksimal. Seperti contohnya Muhammadiyah tidak menolak adanya covid-19.
“Jadi Muhammadiyah karena menerima ilmu, jadi medengar dokter, mendengar ahli biologi, mendengar ahli farmasi terhadap apa yang harus kita lakukan tentang penanggulangan atau mencegah wabah covid ini. Kita menerimanya, mengukurnya dengan ilmu pengetahuan ini. Kita tidak mengembalikannya kepada masa lalu atau uraian-uraian yang tidak berbasis ilmiah akademik” imbuhnya.
Kesembilan, logika yang dikembangkan adalah logika modern. Seperti deduktif, induktif, reflektif dan beliau menganggap bahwa Muhammadiyah juga menerima statistik sebagai fakta dan matematik sebagai metode.
“Ada keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan angka-angka statistik, berdasarkan perhitungan-perhitungan matematik bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang khayali yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”, tuturnya.
Terakhir sebagai closing statment, beliau menambahkan keadaan budaya dan pengetahuan ilmiah sekarang yang sudah berubah besar sekali. Jadi mempertahankan hasil pengetahuan dan hasil penafsiran yang sudah berbeda zaman dengan sekarang dianggap tidak logis dan dianggap tidak akan memuaskan kita semua. Maka dari itu Prof. Al Yasa’ berharap kepada semua tokoh di Majelis Tarjih:
“Untuk ini saya berharap, sadar betul bahwa Muhammadiyah ini berorientasi ke masa depan, menerima pengetahuan ilmiah dengan baik. Dan bukan hanya menerimanya tapi juga memperjuangkannya serta memperkenalkannya kepada khalayak, khususnya kepada warga Muhammadiyah”, tandasnya.
Editor: An-Najmi Fikri R
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.