Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Al-Qur’an Selalu Relevan (2): Integral Sains dan Agama

integral
Sumber: Penulis

Di tengah-tengah perdebatan hadir sosok Kuntowijoyo dengan teori ilmu integral sebagai sintesis dari tesis (ilmu sekuler) dan anti-tesis (islamisasi ilmu). Teorinya berangkat dari pendekatan sintetik-analitik bahwasannya al-Qur’an memuat teori sebagai konsep dasar dan kisah/sejarah sebagai amtsal. Teori itu kemudian kita pahami sebagai teks, sedangkan amtsal kita pahami sebagai konteks.

Dalam buku Islam sebagai ilmu Kuntowijoyo sebenarnya hendak menegaskan bahwasannya kita berangkat dari teori yang sama namun dengan konteks yang berbeda. Ia memberi contoh beberapa istilah dengan pemaknaan yang kontekstual seperti, mustadh’afin diartikan sebagai kelas tertindas, zhalimun sebagai para tiran, mufsidun untuk koruptor-koruptor kekuasaan dan sebagainya. Kuntowijoyo juga menggambarkan kisah kezaliman Fir’aun sebagai bentuk kekejaman tirani dan kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Saleh sebagai bentuk pengkhianatan massal konspirasi-konspirasi kafir.

Teori Ilmu Integral Kuntowijoyo

Kemudian Kuntowijoyo menawarkan kerangka teori ilmu integralnya yang berangkat dari agama sebagai landasan, teoantroposentrisme sebagai bentuk integral antara nilai ketuhanan dan kemanusiaan, lalu dediferensiasi yang menegaskan bahwa ilmu dan agama pada dasarnya satu dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ini lah yang kemudian disebut sebagai ilmu integral oleh Kuntowijoyo.

Ilmu integral Kuntowijoyo juga menekankan nilai subjektifikasi, artinya eksternalisasi ilmu pengetahuan yang berangkat dari agama mesti dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan tanpa harus disertai dengan keyakinan terhadap unsur agama pada suatu ilmu tersebut atau dengan kata lain, suatu yang objektif itu manakah keberadaannya tidak tergantung pada subjek, tapi berdiri sendiri secara independen. Misalnya orang bisa melakukan yoga tanpa harus meyakini ajaran budhisme, melakukan pengobatan aku puntur tanpa harus meyakini ajaran Taoisme, dan melakukan pengobatan dengan khasiat lebah tanpa harus meyakini Islam.

Baca Juga  Al-Fikr: Menelisik Makna Berfikir dalam Al-Qur’an

Pertentangan Sains dan Agama

Senada dengan Kuntowijoyo, Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla dalam buku sains religius agama saintifik; meresahkan pertentangan antara sains dan agama sehingga menginginkan adanya integrasi antara ilmu dan agama. Meskipun di dalam buku tersebut kedua penulis sempat terlibat dalam perdebatan namun perdebatan itu adalah dalam rangka mendamaikan kedua belah pihak.

Haidar Bagir dalam argumentasinya mengatakan jika para pemuja sains menyudutkan agama karena tidak dapat dibuktikan padahal dalam sejarah penemuan sains banyak didapatkan dari hal-hal yang intuitif. Sebagai contoh ia menyebutkan ratusan gagasan matematis oleh Srinivasa Ramanujan yang hampir semuanya diperoleh lewat mimpi, penemuan atom oleh Niels bohr, bahkan Prof. Abdus Salam yang mendapatkan hadiah Nobel fisika pada tahun 1979 karena penemuannya yang menyumbang dalam penyusunan teori penyatuan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah adalah setelah mendapat ilham dari al-Qur’an. Di bagian yang lain Haidar juga mengungkapkan bahwa salah satu keangkuhan spiritual adalah ketika seseorang hanya percaya dengan kemahakuasaan tuhan namun tidak dibarengi dengan ikhtiar sebagai manusia.

Al-Qur’an dan Sains Tidak Perlu Dipertentangkan

Tradisionalis coraknya adalah lebih kepada pemaknaan kitab-kitab ulama klasik sebagai salah satu bentuk ikhtiar dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Revivalis cenderung kepada pemahaman terhadap teks secara deduktif-normatif serta menginginkan Islam kembali murni seperti dahulu. Sedangkan modernis identik dengan gerakan pembaharuan serta memandang bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan utama mesti dipandang dengan kacamata modern.

Muhammadiyah menilai bahwasannya praktik beragama bukan sekedar ritual dan simbolik semata yang ditafsirkan secara kaku oleh beberapa golongan. Namun, beragama adalah manifestasi nilai-nilai transendental yang dipahami dan dikaitkan dengan ilmu-ilmu lain serta konteks realitas yang kemudian melahirkan berbagai ide dan gagasan baru sebagai spirit gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Ahmad Syafi’i Maarif atau akrab di sapa Buya Syafi’i mengatakan amal manusia tidak akan bermakna jika pekerjaan buminya tidak diorientasikan ke langit, artinya pembacaan ayat-ayat langit harus dilihat sesuai dengan konteks bumi dimana praktik beragama dibumi akan dipersembahkan kembali ke langit sehingga ada korelasi antara teks dan konteks.

Baca Juga  Keadilan Gender dan Supremasi Laki-Laki

Pada akhirnya kami berkesimpulan bahwasannya al-Qur’an dan sains tidak perlu dipertentangkan. Karena al-Qur’an sejatinya tidak akan bertentangan dengan kebenaran dan sains membutuhkan al-Qur’an sebagai landasan dan pendukung aktivitas saintifik itu sendiri. Dengan memadukan keduanya Islam sebagai ilmu dapat terwujud, sebagaimana telah dicontohkan oleh para ilmuwan muslim terdahulu yang banyak melahirkan karya besar terinspirasi dari al-Qur’an.

Editor: An-Najmi Fikri R