Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Al-Qur’an Selalu Relevan (1): Melihat Sisi Temporal dan Universal

Temporal
Sumber: islamedia.com

Al-Qur’an Selalu Relevan!

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman bagi umat Islam sekaligus petunjuk bagi seluruh manusia pada hakikatnya tak akan musnah ditelan zaman atau hilang dan berganti dengan pedoman yang baru. Keotentikan dan kelayakan al-Qur’an di segala medan dan kondisi telah tersertifikasi langsung oleh yang Maha Uji. Kita hanya perlu mempelajari, memahami, serta mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.

Al-Qur’an yang qot’i al-wurud sudah final dan tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, sedangkan dalalahnya bersifat zhanni. Artinya pemahaman al-Qur’an tergantung pada siapa yang menafsirkannya, tentu hal ini tergantung bagaimana background atau latar belakang seorang mufasir itu sendiri.

Di era post modern ini, al-Qur’an kembali dipertanyakan seberapa besar pengaruh serta dampak yang lahir untuk menjawab persoalan yang muncul. Persoalan ini sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa tokoh terkemuka dengan kajian dan perdebatan panjang.

Tulisan ini hanya sekedar refleksi bersama bahwa al-Qur’an pada dasarnya mampu bertahan di situasi atau zaman apa pun sedangkan kita sebagai aktornya lah yang dituntut melihat al-Qur’an dari sudut pandang lain agar mampu memahami al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh.

Selain itu, kami juga hendak mengatakan bahwa melihat al-Qur’an dari perspektif lain bukan berarti  menafsirkan al-Qur’an dengan kehendak dan kemauan sendiri. Apalagi karena kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Melihat al-Qur’an dari perspektif lain yang kami maksud bahwasanya al-Qur’an sebagai pedoman hidup adalah sarat akan makna dan ilmu pengetahuan.

Akal kita tidak mampu menangkap seluruh pesan yang disampaikan oleh al-Qur’an sama persis dengan apa yang dimaksud oleh Allah SWT. Tafsir oleh para ulama dan cendekiawan muslim adalah hanya sebagian kecil dari salah satu bentuk upaya memahami al-Qur’an. Sedangkan pemahaman itu bergantung dari latar belakang dan background keilmuan serta tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, kondisi geografis, konstruksi sosial, zaman dan kebudayaan.

Baca Juga  Ternyata Ibadah Selalu Berhubungan dengan Fenomena Waktu

Sisi Temporal dan Universal

Lantas muncul pertanyaan, jika penafsiran al-Qur’an senantiasa berubah bagaimana dengan kaidah yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu saalihun liqulli zaman wa makan? Dalam hal ini kami mengutip pandangan salah seorang ulama hadis kontemporer terkemuka asal Indonesia, Prof. Syuhudi Ismail.

Dalam bukunya Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, beliau mengungkapkan bahwasannya sumber hukum Islam (al-Qur’an dan sunnah) itu ada yang universal, temporal dan lokal. Beliau memberi contoh yang universal, hadis yang mengungkapkan bahwa, “Perang itu siasat”. Ketentuan ini berlaku universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Perang apa saja yang dilakukan baik fisik maupun non fisik memerlukan siasat.

Contoh yang temporal, hadis Nabi mengatakan bahwa, “Matikanlah lampu pada waktu malam ketika kamu sekalian hendak tidur, kuncilah pintu-pintu, ikatilah tempat-tempat air minum (yang terbuat dari kulit) dan tutupilah makanan dan minuman.”. Pada zaman Nabi sumber cahaya di malam hari berasal dari lampu minyak sehingga jika tidak dimatikan dikhawatirkan tersenggol binatang dan memicu terjadinya kebakaran.

Di zaman ini lampu tidak harus dimatikan karena tidak ada kekhawatiran terjadinya kebakaran. Karena sumber pencahayaan di malam hari menggunakan listrik. Contoh yang lokal, hadis Nabi yang berbunyi, “Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot.” Hadis tersebut relevan jika untuk orang-orang Arab. Karena dikaruniai rambut yang subur termasuk pada Jenggot.

Sedangkan berbeda halnya dengan orang Indonesia yang jarang tumbuh jenggot. Dari uraian di atas kita dapat memahami bahwa secara universal al-Qur’an maupun as-sunah adalah saalihun liqulli zaman wa makan. Sedangkan secara temporal dan lokal maka kita memerlukan usaha dan ijtihad untuk melihat al-Qur’an dari sisi yang berbeda menyesuaikan dengan konteks zaman.

Baca Juga  Kritik dan Cinta Tanah Air

Untuk melihat apakah sebuah ayat atau hadis itu universal, temporal atau lokal tentu membutuhkan kajian lebih lanjut. Agar kita bisa dengan cermat memahami isi kandungan dari sumber hukum Islam tersebut.

Al-Qur’an dan Sains

Dewasa ini al-Qur’an dan sains kian dibenturkan karena satu dan lain hal. Namun secara umum di satu sisi sains dipuja karena melahirkan berbagai kemajuan dan al-Qur’an ditinggalkan karena dianggap stagnan dan mengandung banyak hal yang tak dapat dijangkau oleh akal.

Di sisi lain al-Qur’an diunggulkan karena mengandung ajaran sufistik yang berhubungan dengan ketenteraman hati sedangkan sains dianggap kehancuran karena banyak konflik dan peperangan terjadi karenanya.

Dari perdebatan di atas maka kita mengenal sekularisme atau sekularisasi ilmu pengetahuan. Agama dijauhkan dari sains karena dianggap tidak bisa menyatu. Urusan agama hanya terbatas pada hal-hal pribadi, dengan kata lain agama mulai diprivatisasi.

Sedangkan sains berjalan sendiri dengan metode yang dibuat oleh manusia itu sendiri lalu disebut sebagai metode ilmiah. Selain itu, kaum agamawan yang jelas-jelas menentang hal itu (sekularisme), membuat anti-tesis sebagai bantahan terhadap pemuja sains. Salah satunya Naquib al-Attas dan Ismail al-Faruqi dengan teori Islamization of knowledgenya.

Mereka memandang bahwasannya sains dan ilmu pengetahuan harus dimurnikan dari orang Barat. Karena mengandung banyak teori menyesatkan. Ilmu dan sains harus “diislamkan” terlebih dahulu baru boleh digunakan oleh orang-orang Islam. Al-Qur’an sebagai rujukan untuk mengislamkan ilmu dan sains, mereka kemudian berusaha merumuskan istilah-istilah dan metode yang diklaim sebagai “Islam.”

Ditengah-tengah perdebatan hadir sosok Kuntowijoyo dengan teori ilmu integral sebagai sintesis dari tesis (ilmu sekuler) dan anti-tesis (islamisasi ilmu). Teorinya berangkat dari pendekatan sintetik-analitik bahwasannya al-Qur’an memuat teori sebagai konsep dasar dan kisah/sejarah sebagai amtsal.

Baca Juga  Minimalis: Kesederhanaan Hidup dalam Al-Qur'an

Teori itu kemudian kita pahami sebagai teks, sedangkan amtsal kita pahami sebagai konteks. Dalam buku Islam Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo sebenarnya hendak menegaskan bahwasannya kita berangkat dari teori yang sama. Namun dengan konteks yang berbeda. Ia memberi contoh beberapa istilah dengan pemaknaan yang kontekstual seperti mustadh’afin, diartikan sebagai kelas tertindas, zhalimun sebagai para tiran, mufsidun untuk koruptor-koruptor kekuasaan dan sebagainya.

Bersambung

Penyunting: M. Bukhari Muslim