Al-Qur’an Para Sahabat Berbeda
Al-Qur’an turun kepada para sahabat dengan cara berbeda sebagaimana al-Qur’an turun kepada kita. Kepada para sahabat, al-Qur’an seperti berbicara dan juga mendengar apa yang mereka rasakan dan bahkan bernegosiasi dengan kenyataan mereka. Sedangkan al-Qur’an sampai kepada kita hanya berbicara, tidak mendengar, seperti monolog panjang. Dan kita hanyalah pendengar. Ini tentu saja bukan karakter al-Qur’an itu sendiri.
Saat al-Qur’an hendak merespon kebiasaan mabuk-mabukan sebagian orang Arab, al-Qur’an seperti menahan diri untuk langsung melarang mereka bermabuk ria dan al-Qur’an memulai dengan pernyataan bahwa kurma dan anggur bisa diolah menjadi minuman yang memabukkan dan juga bisa menjadi rejeki yang halal. Pada ayat itu (Qs. An-Nahl/16: 67), al-Qur’an bahkan tidak menyebutkan bahwa mabuk-mabukan itu buruk apalagi melarangnya. Al-Qur’an hanya membuka kemungkinan berbeda bagi kurma dan anggur selain dibuat menjadi memabukkan.
Kasus pengharaman mabuk-mabukan, meski dimulai dengan lembut, tetapi tetap berakhir dengan pengharaman. Kasus perbudakan bahkan al-Qur’an tidak sempat mengharamkannya, meski nurani kontemporer kita akan kesulitan menghalalkan perbudakan hanya karena teks al-Qur’annya tidak ada. Kedua contoh di atas adalah bukti adanya semacam negosiasi antara al-Qur’an dengan umat Islam kala itu kala al-Qur’an turun.
Kenyataan kita bukan hanya Al-Qur’an yang tidak lagi bernegosiasi tetapi bahkan seluruh aspek dalam Islam tidak lagi menyisakan ruang negosiasi. Semua telah menjadi barang jadi sejak Islam mencapai puncak-puncak peradabannya sehingga tidak ada lagi sisa bagi kita untuk bernegosiasi dengan ajaran Islam. Setiap upaya negosiasi, belakangan dianggap subversi dan bahkan mencemari kemurnian Islam.
Masihkah Al-Qur’an Bisa Mendengar?
Mengandaikan al-Qur’an kembali turun kepada kita secara bertahap sebagaimana dahulu di masa para sahabat memang sudah tidak mungkin lagi. Kita harus menerima al-Qur’an sebagai barang jadi dalam bentuk mushaf yang telah terbukukan. Tidak ada lagi penambahan padanya, apalagi pengurangan. Namun barangkali al-Qur’an masih bisa mendengar, sebagaimana al-Qur’an juga mendengar para sahabat. Zaman yang terus berubah serta umat Islam yang telah berkembang jauh di luar lokasi awalnya pertama kali adalah alasan penting mengapa al-Qur’an (pasti) masih bisa mendengar.
Satu lagi kenyataan yang tidak bisa ditolak adalah bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an atau ajaran Islam yang sampai kepada kita saat ini dalam bentuk kodifikasi hukum Islam, penafsiran al-Qur’an, pemahaman teologis, dan seterusnya juga harus diterima sebagai kenyataan sebagaimana kita menerima al-Qur’an dalam bentuk mushaf sebagai kenyataan.
Saya menekankan dua kenyataan di atas yaitu 1) kenyataan al-Qur’an sebagai mushaf dan 2) kenyataan ajaran Islam sudah terbangun sedemikian rupa karena ada dua sikap yang membuat al-Qur’an tidak bisa lagi mendengar.
Sikap Keliru yang Membuat Al-Qur’an Tidak Lagi Mendengar
Pertama, sikap terlalu memandang enteng upaya para pemikir Islam yang secara cerdas telah menghasilkan bangunan ajaran Islam sebagaimana yang kita nikmati saat ini. Sikap pertama ini hanya mau langsung berdialog dengan al-Qur’an dan tidak mau lewat hasil pemikiran para pemikir Islam lama.
Kedua, sikap yang terlalu mengagungkan upaya para pemikir Islam lama sehingga menutup ruang bagi lahirnya respon terhadap al-Qur’an oleh pemikir-pemikir masa kini dan masa datang. Kedua sikap tersebut di atas adalah bentuk sederhana dari istilah tertutupnya pintu ijtihad.
Untuk membuat al-Qur’an kembali mendengar, posisi para pemikir Islam lama sangatlah penting karena ibarat al-Qur’an sedang berbicara, maka kita yang berada jauh—baik dari segi ruang maupun waktu—pasti memerlukan penghantar agar suara al-Qur’an itu sampai ke telinga kita. Penghantar itu adalah para pemikir Islam lama yang telah cerdas dan berjasa hingga ajaran Islam bisa kita amalkan saat ini.
Setelah al-Qur’an berbicara dan kita mendengarkannya lewat penghantar para pemikir Islam lama, maka saatnya kini kita memperdengarkan suara kita kepada al-Qur’an dan itu tidak mungkin tanpa penghantar pula. Maka para pemikir Islam lama itulah yang menjadi penghantar suara kita kembali kepada al-Qur’an.
Sikap kelompok pertama yang memandang enteng peran para pemikir Islam tidak akan mampu mendengarkan suara al-Qur’an dengan baik. Karena telah menghilangkan penghantarnya. Konsekuensinya, mereka pun akan kesulitan memperdengarkan suara mereka kembali kepada al-Qur’an karena penghantarnya telah mereka hilangkan sebelumnya.
Sikap kelompok kedua yang terlalu mengagungkan peran para pemikir Islam memang bisa mendengarkan suara al-Qur’an dengan baik. Karena mereka mengakui penghantarnya namun karena telalu mengagungkan penghantarnya. Suara mereka tidak akan pernah terdengar oleh al-Qur’an sendiri sehingga al-Qur’an tidak bisa merespon kondisi kekinian mereka.
Al-Qur’an Mendengarkan Para Sahabat dan Juga Kita
Para sahabat seperti berdialog dengan al-Qur’an. Karena memang mereka tidak memiliki jarak ruang dan waktu yang cukup berarti dengan al-Qur’an, tidak sebagaimana kita. Satu-satunya penghantar yang mengantarkan mereka dengan al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Mereka hanya akan gagal mendengarkan al-Qur’an dan al-Qur’an gagal mendengarkan mereka jika mereka tidak mengakui penghantarnya, yaitu Nabi Muhammad SAW sendiri.
Kenyataan yang tidak bisa kita tolak adalah penghantar suara Al-Qur’an kepada kita bukan hanya Nabi Muhammad SAW. Tetapi juga para pemikir Islam setelah beliau hingga kini. Lewat merekalah alunan suara al-Qur’an kita dengarkan. Bagaimana para pemikir Islam itu mendialogkan kondisi kekinian mereka dalam sosial, ekonomi, politik, psikologi, dan seterusnya dengan teks-teks al-Qur’an adalah pelajaran berharga bagi kita untuk juga mendialogkan kondisi kekinian kita dengan al-Qur’an. Dengan cara itulah al-Qur’an mendengarkan kita. Dari sinilah tampak bahwa mantra Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah—dengan menafikan para pemikir Islam lama—sesungguhnya menghina akal sehat.[]
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply