Saya masih ingat sebuah kutipan dalam sebuah tulisan yang pernah saya baca. Kutipan itu cukup membekas didalam ingatan saya karena pembahasannya cukup menarik bagi saya. Dalam kutipan itu menjelaskan makna dari kitab suci. Kutipan itu berbunyi bahwa suatu karya dinyatakan sebagai kitab suci menurut F. Schuon, harus memenuhi tiga kriteria. Pertama: dikenakan pada hal-hal yang transenden. Kedua, memiliki sifat kepastian yang mutlak. Ketiga, tidak sepenuhnya dimengerti dan dapat terjangkau oleh daya pengamatan akal pikiran manusia biasa.
Begitulah kriteria atau ciri-ciri yang dipaparkan Shuon. Saya rasa, Al-Qur’an sudah memenuhi syarat disebutnya sebagai kitab suci seperti yang disampaikan F. Schuon ini. Jelas saja, al-Qur’an tak perlu diragukan lagi. Al-Qur’an adalah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan mukjizat yang masih ada sampai hari ini. Ia merupakan kitab suci yang dijaga dan dijamin langsung oleh Allah
Kitab ini pernah disebut oleh Muhammad Arkoun sebagai “korpus resmi yang tertutup dan terbuka”. Disebut resmi, karena al-Qur’an merupakan kesepakatan yang telah diputuskan oleh otoritas-otoritas. Dinyatakan tertutup, karena tidak ada yang boleh memodifikasinya. Al-Qur’an telah selesai. Tak ada yang boleh menambahi atau mengurangi satu kata pun dari al-Qur’an. Dikatakan terbuka karena memungkinkan untuk bisa dipahami lebih lanjut dan digali makna-makna yang masih tereliminasi.
Al-Qur’an menggunakan bahasa yang multi pemaknaan dan terkadang bersifat ambigu. Ambiguitas teks al-Qur’an menjadi alasan untuk adanya penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kompleksitas makna. Tentu saja jika melihat realitasnya, banyak sudah kita bisa temukan tafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam dan bentuk.
Selaras dengan penyataan Arkoun bukan? Syarat ketiga dari Shuon dan pernyataan Arkoun tentang korpus terbuka, ingin saya bahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Al-Qur’an Sebagai Mukjizat
Dalam sejarahnya, Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Ia bak mentari yang tak henti henti memberikan pencahayaannya. Dari berbagai sisi memunculkan pancarannya, sama halnya dengan kajian al-Qur’an yang terus berkembang. Matahari menumbuhkan benih benih baru setiap pagi. Al-Qur’an menumbuhkan minat pemikir-pemikir untuk menerjemahkan al-Qur’an dengan perspektifnya masing masing.
Ruang lingkup kajian al-Qur’an terus berkembang. Dialektika dengan al-Qur’an terus berlangsung, bahkan sampai hari ini. Mulanya hanya Nabi yang menjadi sentral penafsiran yang utama. Ketika sahabat-sahabat bertanya dan meminta petunjuk Nabi-lah yang memberikan penjelasan. Namun ketika wafat, ada transformasi dan transmisi penerus penafsiran Al-Qur’an masih sangat dibutuhkan.
Usaha yang dilakukan untuk menafsirkan al-Qur’an merupakan upaya untuk menentukan maksud dan makna yang dikehendaki Allah untuk memecahkan permasalahan manusia. Karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang relevan di setiap ruang dan waktu Dan kita tau sendiri bahwa persoalan manusia selalu berubah seiring perubahan zaman yang tak terhentikan.
Maksud yang disampaikan al-Qur’an kemudian diejawantahkan melalui sarana dan media yang beragam baik itu lisan, tulisan maupun tindakan. Tafsir-tafsir itu merupakan hasil dari pemahaman dan informasi yang didapatkan dari al-Qur’an. Tafsir lisan banyak disampaikan oleh para dai dan muballigh. Lalu para mufassir menuliskan tafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lewat karya tafsirnya. Dan ada yang menafsirkan lewat apa yang mereka pahami lewat tindakannya.
Karya Tafsir Yang Melimpah
Samudera rahasia al-Qur’an berusaha terus dipahami sepercik-demi percik oleh para mufassir untuk kemudian disajikan dalam karya tafsir yang membumi dan terus direproduksi dengan pembaharuan diberbagai sisi. Tawaran dengan penjelasan baru, penguatan, pemerincian atau lanjutan dari wacana serta narasi yang pernah diajukan sebelumnya.
Rekonstruksi baik yang kecil maupun yang besar terus dilakukan agar tak mengulangi penjelasan dari tafsir yang pernah ada. Tentu saja didukung dengan kondisi dan konteks yang melingkari kehidupan sang mufassir. Kecenderungan kecenderungan muncul baik karena kepentingan atau paham ideologi yang melekat dalam dirinya.
Sejalan dengan itu, lahirlah tafsir-tafsir dari masing masing rahim pemikiran dengan beraneka ragam metode, pendekatan dan corak . Ditulis dalam beragam bahasa, beragam media dan sarana. Sampai saat ini masih belum terlihat kapan perkembangan tafsir ini akan berakhir. Dan hari ini pun, karya tafsir bisa Rahmania nikmati dengan melimpah ruah dengan ribuan interpretasinya.
Kitab Suci Dengan 1001 Interpretasi
Menurut pandangan Syahrur, ia melihat bahwa ayat-ayat suci al-Qur’an yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang selama ini ditafsirkan oleh ulama terdahulu dalam konteks penafsirannya masih sangat terbatas. Aktivitas dalam ilmu tafsir menekankan pada pemahaman teks belaka, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya.
Masih menurut Syahrur, Ilmu tafsir tradisional tidak menempatkan teks dalam dialetika konteks dan kontektualitasnya. Inilah mengapa teks al-Qur’an sulit dipahami oleh pembaca lintas generasi. Jika keterbatasan-keterbatasan ini dibiarkan terus menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang terbentang di balik ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Syahrur perlu ada pembacaan ulang, sebab setiap generasi memiliki kebebasan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sehingga setiap generasi dapat menemukan pemahaman baru yang bisa jadi merupakan solusi atas berbagai persoalan yang terjadi. Syahrur juga berpandangan bahwa Nabi Muhammad SAW sebenarnya adalah mujtahid pertama yang juga telah berupaya memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
Jika diterapkan apa yang disampaikan Syahrur, maka tentu akan muncul 1001 bahkan lebih tafsir atau interpretasi baru dari al-Qur’an. Wallahua’lam bisowab.
Leave a Reply