Mengapa isu toleransi tetap saja dibicarakan? Sebab masih ada pihak-pihak bersimpati terhadap tindakan intoleran. Parahnya, kitab suci–khususnya Al-Qur’an–dijadikan sebagai justifikasi untuk membenarkan sikap itu, sikap yang dinilai sejalan dengan ketegasan ajaran Islam. Di sisi lain, sikap toleransi selalu dicurigai sebagai upaya untuk mencederai keyakinan. Pelaku kampanye toleransi antar umat beragama seringkali mendapatkan label sekuler, liberal, atau bahkan cacat secara akidah. Benarkah demikian?
Mengenal Al-Quran Kitab Toleransi Karya Zuhairi Misrawi
Sebuah buku yang menarik, ditulis oleh seorang Cendekiawan NU, Zuhairi Misrawi, berjudul “Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin”. Buku itu mengulas bagaimana Al-Qur’an justru lebih banyak berbicara tentang toleransi ketimbang sikap menutup diri terhadap pengikut agama lain. Meskipun menurut Zuhairi Misrawi–mengutip Yohanna Friedman, Guru Besar Studi Islam Universitas Hebrew, Jerusalem–kata toleran yang dalam bahasa Arabnya al-tasamuh tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Namun ada banyak ayatnya yang memberi isyarat agar melakukan sikap toleransi.
Penyusunan buku itu patut diduga didasarkan pada keinsyafan penulis akan perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (ra.) dalam kitab Nahjul Balaghah syarah Syaikh Muhammad Abduh, yang ditaruh pada awalan bab kedua “Al-Qur’an Sebagai Teks Terbuka”: “Al-Qur’an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan oleh manusia.” (Hal. 56)
Kata-kata ini seakan menjadi landasan argumentasi di sekujur tubuh buku itu. Bahwa Al-Qur’an akan berbeda pengaruhnya di tangan orang yang berbeda pula. Al-Qur’an akan menjadi pendorong lahirnya tindakan kekerasan bagi orang yang menyukai kekerasan. Sebaliknya, Al-Qur’an akan menjadi inspirasi untuk menciptakan kemaslahatan, kalau ia berada di tangan orang yang menyukai kedamaian.
Al-Quran Kitab Kehadiran
Pada akhirnya, membicarakan Al-Qur’an berarti juga membicarakan tafsir. Sebab Al-Qur’an yang dibaca adalah sama, namun cara memaknainya yang berbeda-beda. Terlebih bagi Misrawi, kemampuan dalam menghadirkan Al-Qur’an di setiap kesempatan. Masih sejak pendahuluan, buku itu diberi tema “Menghadirkan Al-Qur’an”. Sesungguhnya Al-Qur’an sudah hadir sejak masa Nabi Muhammad (saw.) hingga sekarang. Kalau begitu apa lagi yang perlu dihadirkan? Tidak lain adalah maknanya bagi nilai-nilai kemanusiaan universal.
Al-Qur’an bagi Imam Al-Ghazali bagaikan mutiara, ia terpendam di dalam samudera, perlu diselami agar manusia mendapatkan rahasia tentang keagunangan Allah baik dari segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Selain dari mengenal Allah, mutiara Al-Qur’an juga bisa digunakan untuk mematahkan argumentasi teologis agama lain.
Bagi Misrawi, argumentasi Al-Ghazali masih berbau teologis vertikal, belum menjangkau yang antropologis horizontal. Hal itu disebabkan tren perdebatan di zamannya. Pada waktu itu belum ada pembicaraan masalah HAM sebagaimana di dunia modern. Juga tidak ada isu sains maupun ilmu-ilmu sosial yang menjadi perhatian utama.
Jika memang Al-Qur’an adalah mutiara, maka seharusnya hasil dari menyelami ayat-ayatnya membuat Al-Qur’an bisa hadir untuk menjawab isu-isu kemanusiaan maupun ilmu pengetahuan (sains). Seperti yang terjadi pada saat ini, diperlukan kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah penindasan terhadap kaum marjinal, pengrusakan lingkungan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
Keistimewaan Al-Qur’an terletak pada kemukjizatannya, yang di dalam Ulumul Qur’an dikenal dengan istilah i’jazul Qur’an. Sayangnya, kata Misrawi, para ulama memandang kemukjizatan Al-Qur’an hanya terletak pada susunan tata bahasanya, sastranya yang tinggi mengalahkan keindahan tata bahasa apapun itu, sepanjang masa. Juga dari segi konten, misalnya tentang Allah dan juga kabar tentang hari akhir, mengalahkan kitab-kitab suci yang lain.
Tafsir Kontekstual: Tawaran Zuhairi
Hal semacam itu misalnya terdapat dalam “Al-Itqan fi Ulumil Qur’an” karya Imam Jalaluddin Al-Suyuthi. Juga misalnya dalam karya pakar studi Al-Qur’an, Syaikh Manna’ Khalil Al-Qattan berjudul “Mabahits fi Ulumil Qur’an”. Bahwa keunggulan Al-Qur’an dari kitab-kitab lainnya adalah susunan teks yang di luar kebiasaan berbahasa orang-orang Arab. Seharusnya kemukjizatan juga terletak pada kemampuan Al-Qur’an dalam memberi inspirasi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Khususnya terhadap hubungan manusia secara sosiologis sehingga dapat menciptakan suatu kerjasama sosial antar umat beragama.
Untuk itu, Zuhairi Misrawi menawarkan konsep membudayakan tafsir di zamannya. Problem umat Islam dalam menghadapi isu-isu kekinian dewasa ini adalah otoritas tafsir yang baku dan tak boleh diganggu gugat. Tafsir Al-Qur’an yang sudah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu bagaimanapun adalah hasil dari pergulatan antara penafsir dengan semangat zamannya. Umat Islam hari ini tentu memiliki tantangan yang berbeda.
Jika demikian, dapatkah tafsir diperbaharui supaya dapat sesuai dengan semangat zaman? Misrawi memberi pengertian, bahwa penafsiran Al-Qur’an bukanlah penerjemahan Al-Qur’an semata. Tafsir berfungsi menguak makna sehingga dapat ditarik konteksnya pada setiap tempat dan keadaan. Pembaruan atau reformasi tafsir sangat mungkin untuk dilakukan, bergantung pada cara mendekati teks Al-Qur’an.
Mengahadirkan Al-Quran Perspektif Zuhairi Misrawi
Ada dua pendapat umum yang perlu dicermati untuk memikirkan kemungkinan pembaruan tafsir demi kontekstualisasi zaman. Pertama, pendapat yang mengemukakan bahwa tafsir berdiri sendiri sebagai ilmu interpretasi Al-Qur’an. Kedua, pendapat yang mengemukakan bahwa tafsir hanyalah partikular, mesti dikuatkan dengan ilmu-ilmu lain semisal eksakta, sejarah, dan humaniora.
Pendapat pertama lumrah saja. Namun dalam hal menafsirkan Al-Qur’an, diperlukan metodologi tertentu dalam mendekati teks. Yaitu melakukan pembacaan teks Al-Qur’an dengan ilmu Al-Qur’an (ulumul qur’an) serta pelbagai khazanah tafsir. Namun lebih dari sekadar teks, Al-Qur’an juga adalah sebuah diskursus yang perlu didekati secara interdisipliner.
Pendapat kedua agaknya lebih menguatkan kemungkinan untuk membudayakan tafsir di zamannya. Di mana era kini isu agama tidak lagi sekadar bermain pada ranah teologis, melainkan pada isu-isu yang bersifat antropologis. Utamanya toleransi antar umat beragama yang membutuhkan perhatian yang cukup serius. Selain membudayakan tafsir di zamannya, Misrawi memandang perlu untuk memahami paradigma pembangunan toleransi antar umat beragama, di mana selama ini orang sering salah kaprah dalam mengartikan paradigma ini. Ada tiga paradigma yang ditawarkan:
Inklusifisme dalam Islam
Pertama, inklusifisme, yaitu mencari titik temu persamaan agama-agama. Agama tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Hanya saja agama memiliki kesamaan misi sebab semuanya dibawa oleh Nabi yang diutus oleh Allah; kedua, pluralisme, yaitu menyadari perbedaan antara umat beragama. Kesadaran akan perbedaan seharusnya menghasilkan rasa perlunya membangun kerjasama antar umat beragama dalam misi kemanusiaan; ketiga, multikulturalisme. Bahwa keragaman yang bukan hanya sebatas agama, tetapi juga suku, etnik, ras, dan lain sebagainya, semestinya menghasilkan kesadaran bahwa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya. Selanjutnya tinggal mengelola keberagaman itu.
Pengajuan paradigma ini bukannya mengada-ada, ia sesungguhnya memiliki justifikasi teks. Misrawi secara tematik mendaftar setidaknya 18 surah yang mengandung isyarat untuk menghidupkan sikap toleransi (ayat-ayat toleransi). Antara lain Q.S. An-Naml (27) ayat 30, tentang arti basmalah. Nabi Sulaiman (as.) mencantumkan dalam isi suratnya. Kalimat itu bukan saja sebagai pembuka, tetapi juga sebagai bukti bahwa Tuhan adalah sumber kasih sayang bagi semua makhluk (ar-rahman dan ar-rahim).
Selanjutnya, Q.S. Al-Anbiya’ (21) ayat 107, bahwa Nabi Muhammad (saw.) sendiri adalah contoh praksis dari kasih sayang itu. Lainnya adalah prinsip toleran dalam berdakwah pada Q.S. An-Nahl (16) ayat 125; tiada paksaan dalam agama pada Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 256; ahlul kitab sebagai orang saleh yang juga perlu dihormati pada Q.S. Ali Imran (3) ayat 113 – 114, serta beberapa ayat lain yang memiliki muatan serupa.
Kontroversi di Sekitar QS. Maryam Ayat 30
Yang menarik dari itu semua adalah Q.S. Maryam (19) ayat 30 – 34 yang diberi tema “mengucapkan selamat natal”, sikap yang hingga kini masih sangat kontroversial di kalangan umat Islam. Namun Al-Qur’an mesti dihadirkan untuk mengatasi kontroversi ini, demi terciptanya semangat toleransi antar umat beragama.
Ayat itu memang berbicara tentang keselamatan atas kelahiran Nabi Isa (as.) atau Yesus dalam Kristen. Bagi Misrawi, ucapan selamat natal adalah bentuk pengakuan ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa (as.) sebagai salah satu nabi yang diakui di dalam Islam. Ucapan selamat itu sendiri, dengan mengutip Al-Razi, sebagai doa dan penghargaan atas pelayanan Nabi Isa (as.) terhadap umat.
Sedang perdebatan boleh atau tidaknya mengucapkan selamat natal selama ini dipahami sebagai bentuk pengakuan akan klaim teologis versi Kristen, karenanya akan menjadi musyrik jika mengakuinya. Dan sayangnya Misrawi tidak membahas dan menjernihkan perdebatan mengenai waktu kelahiran Yesus yang konon tidak bertepatan dengan momen natal (25 desember), hal yang menjadi keberatan satu di antara kelompok-kelompok yang menolak ucapan selamat natal.
Kesimpulan
Buku itu ditutup dengan bab tentang perlunya membumikan toleransi Al-Qur’an. Bahwa ayat-ayat toleransi tidak hanya untuk dibunyikan, tetapi juga perlu dibumikan. Seyogianya toleransi tidak hanya sebatas keperluan untuk berinteraksi, tetapi juga merupakan bentuk menghadirkan Al-Qur’an di tengah-tengah keragaman umat manusia.
*
Judul buku: Al-Qur’an Kitab Toleransi
Penulis: Zuhairi Misrawi
Penerbit: Pustaka Oasis
Tahun: 2017
Tebal: xxx + 450 halaman
ISBN: 978-602-452-400-5
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply