Salah satu tantangan bagi umat Islam di era modern adalah masalah keragaman agama. Sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, umat Islam didorong untuk terbuka; berinteraksi, dan terhubung dengan agama-agama yang berbeda. Meningkatnya perjumpaan dan pengetahuan terhadap ragam penganut agama kemudian mengharuskan para sarjana Muslim untuk mempertanyakan secara kritis sejumlah warisan pandangan keagamaan yang dipandang akan menghambat kultivasi sikap respek, koeksistensi, dan kerja sama antar agama. Dari sini dapat dituliskan bahwa pluralisme adalah norma dan semangat zaman (zeitgeist) modern yang perlu disikapi secara serius oleh umat Islam dalam konteks etika.
Apabila pluralisme dipahami sebagai respons apresiatif terhadap agama-agama lain sebagai tradisi keagamaan yang setara dalam menawarkan jalan keselamatan, maka umat Islam mesti mengeksplorasi sumber-sumber skripturalnya (Al-Qur’an); untuk menyediakan referensi tekstual berikut interpretasi kontekstual yang dapat mengakomodir tuntutan semangat zaman dalam komitmen keagamaan manusia modern. Tulisan ini kemudian akan berupaya untuk menguraikan pergulatan sarjana-sarjana Muslim kontemporer dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an terkait pluralisme agama. Penulis akan berargumen bahwa gagasan-gagasan pluralisme yang mereka ajukan dapat menempatkan ayat-ayat Al-Qur’an terkait keragaman agama ke dalam perbincangan etika sehingga memperluas horizon pluralisme ke dalam dimensi praktis.
Kemanusiaan: Kesatuan dalam Keragaman
Dalam QS. al-Baqarah [2]:213, Al-Qur’an menyatakan bahwa bahwa manusia dan kemanusiaannya merujuk kepada satu komunitas yang berada di bawah naungan payung keesaan Tuhan. Berdasarkan ayat ini, dapat dikemukakan tiga prinsip fundamental dalam Al-Qur’an berkenaan dengan pluralisme agama: kesatuan kemanusiaan; keragaman dan partikularitas agama-agama yang dibawa oleh para Nabi; serta peran wahyu sebagai pedoman umat beriman.
Mengomentari QS. al-Baqarah [2]:213, Abdulaziz Sachedina, seorang profesor Studi Islam di International Institute of Islamic Thought, Virginia, menulis bahwa pada satu sisi, bahwa konsepsi pluralisme Al-Qur’an tidak menolak spesifikasi dari setiap agama maupun ragam kontradiksi yang eksis di antara mereka perihal keyakinan dan praktik keagamaan yang benar. Pada sisi yang lain, Al-Qur’an menekankan perlunya merekognisi kesatuan kemanusiaan dalam penciptaan. Juga untuk bekerja sama menuju kesepahaman yang lebih baik di antara umat beriman
Dengan menempatkan kemanusiaan ke dalam satu komunitas; Al-Qur’an secara efektif memperkenalkan pesan universal yang menghubungkan semua manusia kepada otoritas Ilahi yang tunggal, unik, serta misterius. Juga sekaligus mengizinkan keragaman, bahkan kontestasi, klaim kebenaran eksklusif dari setiap agama. Al-Qur’an bukan hanya menerima realitas perbedaan dan keragaman di dalam kehidupan masyarakat, namun juga mengharapkannya. Berkenaan dengan ini, seorang cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka, Nurcholis Madjid, bahwa Kebenaran Universal; yaitu Tuhan, adalah tunggal, kendati pada saat yang sama mengizinkan manifestasi lahiriahnya ke dalam agama yang beraneka ragam.
Dari ayat tersebut pula dapat dikemukakan bahwa apa yang ditolak dan dicela oleh Al-Qur’an sejatinya bukanlah keragaman agama, melainkan baghy; yaitu sikap dan tindakan permusuhan, keangkuhan, dan iri hati dari pemeluk agama tertentu. Hal ini dapat merusak keharmonisan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Atas dasar pengakuan terhadap pluralitas agama, Al-Qur’an kemudian merekognisi kemungkinan pengalaman keagamaan manusia terhadap Realitas Ilahi di luar Islam. Juga mengafirmasi jalan keselamatan yang ditawarkan oleh agama tersebut. Dalam QS. al-Baqarah [2]:62 dan QS. al-Mā’idah [5]:69, Al-Qur’an dengan sangat baik mengespresikan dirinya sebagai jaringan kritis dalam pengalaman keagamaan manusia dan menunjukkan suatu jalan keselamatan universal bagi umat beriman. Kalangan reformis Muslim modern, seperti Rasyid Ridha dari Mesir dan M. H. Tabataba’i dari Iran, menafsirkan kedua ayat ini sebagai penegasan Al-Qur’an; bahwa kemenangan (al-fauz) dan kebahagiaan (al-sa’ādah) sejati akan diperoleh melalui iman yang benar terhadap keesaan Tuhan, hari akhir, serta amal saleh. Bukan didasarkan afiliasi terhadap komunitas keagamaan tertentu (Ridha, 1947, p. 335; Tabataba’i, 1997, p. 192)
Al-Qur’an, Pluralisme Agama, dan Realisme Moral
Pertanyaan filosofis mengenai tuntunan spiritual-moral yang disediakan Tuhan bagi kemanusiaan dalam rangka meraih keselamatan memunculkan dua pandangan teologis yang bertentangan secara diametral dalam tradisi Islam. Pandangan pertama, yang dikenal dengan divine command theory. Diusung oleh para cendekiawan Asy’ariyyah; memosisikan kehendak Tuhan sebagai menyeluruh—meliputi sumber, neraca, dan tujuan moralitas—dan memandang bahwa setiap manusia mesti mengikuti perintah dan larangan-Nya yang disampaikan melalui Nabi agar memeroleh kebahagiaan sejati. Sementara itu, pandangan kedua, yang dikenal dengan moral rationalism. Didukung oleh para sarjana Mu’tazilah dan Syi’ah, menjadikan moralitas sebagai realitas universal yang dapat diakses oleh manusia berdasarkan kehendak bebas dan akal budinya. Sehingga memungkinkan setiap manusia, apapun agamanya, mewujudkan kehidupan Ilahi yang mengutamakan etika.
Sebagai konsekuensinya, pandangan pertama mengandaikan bahwa Islam sebagai agama yang membatalkan wahyu-wahyu sebelumnya. Juga mensyaratkan umat manusia untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad agar dapat hidup bermoral dan meraih keselamatan. Berbeda dari itu, pandangan kedua justru menekankan tanggung jawab dari setiap umat beragama untuk mengimani dan mengamalkan ajaran wahyunya masing-masing. Dengan syarat, bahwa pandangan dan praktik keagamaannya secara substantif selaras dengan tatanan moralitas objektif yang universal. Juga dengan demikian membuka akses keselamatan bagi agama yang beragam.
Apabila dipahami secara mendalam, QS. al-Rūm [30]:30 secara jelas mengajukan basis bagi rasionalisme moral dengan menyatakan bahwa untuk mencapai tatanan publik yang etis, Tuhan telah menciptakan suatu kapasitas bawaan dalam diri manusia, yaitu fitrah, untuk mengejar kehidupan yang mengutamakan etika. Dalam kalimat lain, fitrah adalah lokus yang niscaya bagi petunjuk moral yang universal. Berdasarkan fitrahnya semua manusia, terlepas dari apapun afiliasi keagamaannya, mampu memahami, merefleksikan, dan menilai secara rasional kebaikan atau keburukan dari tindakan-tindakan mereka.
Sejalan dengan ini, QS. al-Mā’idah [5]: 48 menyatakan bahwa pluralitas dan diversitas agama dimaksudkan untuk menstimulus pengayaan dan ‘kompetisi’ mutual dalam domain kebaikan. Pada ayat tersebut, Al-Qur’an secara eksplisit merekognisi karakter objektif dan universal dari nilai moral yang melampaui berbagai perbedaan agama-agama. Dengan memanfaatkan akal budi dan kehendak yang merupakan anugerah Tuhan, manusia dapat menalar nilai moral yang universal itu dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama di muka bumi.
***
Bagi Sachedina, Islam merupakan agama yang sangat sadar akan urgensi untuk membentuk kebudayaan publik yang selaras dengan kehendak Ilahi; yaitu nilai-nilai etika yang universal. Meski menempatkan perkara iman sebagai persoalan privat, Al-Qur’an memandang bahwa performasi ritual dan kewajiban keagamaan; mesti dapat diakses konsekuensi etisnya secara objektif oleh orang lain di ruang publik. Dalam QS. al-‘Ankabūt [29]:45 dan QS al-Mā‘ūn [107]:4-7 misalnya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa ritual salat tidak dapat dipisahkan dari, dan senantiasa berkaitan erat dengan, etika sosial.
Tentu saja refleksi rasional terhadap nilai moral sangat mungkin terkaburkan apabila tidak ditopang dengan keyakinan akan otoritas tertinggi yang hanya dimiliki Tuhan; otoritas yang kepada-Nya setiap manusia akan kembal”. Sekalipun Al-Qur’an berhasil mengakui ragam ekspresi moral konkret yang menyejarah dari berbagai agama, ia tetap menegaskan bahwa diperlukan komitmen dan usaha dari setiap penganut agama untuk merumuskan suatu tata nilai universal sehingga dapat diakses oleh setiap manusia agar dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Dalam rangka membangun kesepahaman yang dapat menjembatani perbedaan dari berbagai agama dan kebudayaan, Al-Qur’an lalu mendorong manusia untuk saling mengenal (ta’āruf) satu sama lain (QS. al-Ḥujurāt [49]:13). Khaled Abou El Fadl, seorang ahli hukum Islam kontemporer terkemuka, mengomentari ayat ini sebagai tujuan Ilahi. Tujuan yang menempatkan kewajiban bagi umat Muslim untuk bekerja sama dengan saudaranya yang seiman dan sekemanusiaan agar dapat mewujudkan kebaikan bersama.
Penulis berharap telah mendemonstrasikan pergumulan serius dari para sarjana Muslim kontemporer untuk menghubungkan gagasan pluralisme Al-Qur’an dengan diskursus etika. Dengan menjangkarkan diri mereka pada teks Al-Qur’an dan memproyeksikan horizon mereka dengan konteks kekinian, sarjana-sarjana Muslim ini telah berkontribusi terhadap preservasi dan konservasi Islam sebagai tradisi diskursif agar mampu menjawab tantangan modernitas. Tidak hanya itu, mereka juga terlibat secara langsung pada kontestasi wacana berhadapan dengan kalangan puritan yang mempromosikan eksklusivisme keagamaan untuk memenangkan posisi normatif bagi keberagamaan umat Muslim.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.