Apabila umat Muslim dan Kristen, termasuk juga agama-agama lain, merupakan bagian dari komunitas beriman, bagaimana seharusnya mereka berinteraksi satu sama lain? Apakah keragaman dan perbedaan tradisi keagamaan memungkinkan mereka untuk merumuskan suatu tata nilai etis kolektif yang dapat mengatur relasi sosial mereka? Bagaimana visi Al-Qur’an terkait etika, terutama pada level praksis, dalam konteks pergaulan lintas agama? Pertanyaan-pertanyaan demikian merupakan bagian dari dimensi krusial yang seringkali tidak begitu dikenal oleh banyak kalangan dan kurang mendapat perhatian yang memadai dalam perbincangan Islam dan pluralisme agama.
Tulisan ini kemudian bertujuan untuk mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan mendiskusikan bagaimana Al-Qur’an mengartikulasikan wacana etika dalam pergaulan lintas iman, terkhusus pada level sosiologis-konkret. Dengan mengelaborasi tulisan-tulisan para penulis Muslim kontemporer dan mufasir modern yang telah berhasil membingkai diskursus pluralisme agama Al-Qur’an dalam bingkai etika secara teoretis, penulis akan mengajukan suatu argumen bahwa Al-Qur’an menyediakan suatu visi etis yang dapat membantu kita untuk memikirkan masalah etika pergaulan antar komunitas beriman dalam kerangka intersubjektivitas. Tentu, visi etis yang dimaksud tidak hanya berada pada domain teoretis semata, namun juga menjangkau dimensi praksis.
Realisme Moral dan Intersubjektivitas Etika
Pada prinsipnya, Al-Qur’an memandang bahwa ragam komunitas manusia, awalnya, merupakan bagian dari satu komunitas, yaitu komunitas kemanusiaan (QS. al-Baqarah [2]:213. Sachedina, 2006). Mereka kemudian berkembang menjadi komunitas yang beragam akibat interaksi mereka dengan berbagai konteks dan kebudayaan di dalam ruang dan waktu yang partikular. Dalam hal ini, risalah-risalah kenabian yang membawa spirit etis yang universal pun melewati suatu proses partikularisasi dan vernakularisasi agar ia dapat dipahami dan diejawantahkan secara konkret dalam konteks spesifik itu (QS. Yūnus [10]:47).
Alih-alih menolak perbedaan tersebut, Al-Qur’an secara tegas mengafirmasinya sebagai bagian dari tujuan penciptaan Tuhan (QS. al-Mā’idah [5]:48; Hūd [11]:118; dan Yūnus [10]:19) dan menganjurkan umat manusia untuk saling mengenal satu sama lain (QS. al-Ḥujurāt [49]:13). Keragaman dan perbedaan, demikian tulis Abdulaziz Sachedina, tidak dipandang sebagai sumber ketegangan yang tak terhindarkan, melainkan diakui sebagai sesuatu keniscayaan dari ragam tradisi yang partikular. Partikularitas tradisi ini kemudian memainkan peran dalam mendefinisikan kesamaan keyakinan dan nilai bagi keberlangsungan kehidupan suatu komunitas.
Poin penting yang mesti penulis kemukakan adalah bahwa perspektif etika yang dipromosikan Al-Qur’an adalah realisme moral. Secara sederhana, realisme moral merupakan suatu posisi meta-etika yang berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan merupakan nilai mandiri yang eksistensinya tidak dideterminasi oleh emosi dan kehendak subjektif siapapun, baik itu manusia, masyarakat, maupun Tuhan. Dalam hal ini, akal budi manusia, baik secara individual maupun kolektif, dapat melakukan penilaian terhadap nilai-nilai tersebut. Ketika menggunakan istilah ma’rūf (QS. al-Baqarah [2]:213, 228-229 dan al-Nisā’ [4]:6,19,25) misalnya, Al-Qur’an tidak merinci aturan mengenai bagaimana bentuk tindakan etis yang ma’rūf itu. Hal demikian mengandaikan bahwa sejumlah prinsip moral mendasar dapat diketahui manusia secara mandiri dengan menggunakan akal budi dan intuisi mereka.
***
Memang, dalam beberapa kesempatan, Al-Qur’an menekankan bahwa lokus tanggung jawab moral berpusat pada individu (QS. al-Baqarah [2]:213; al-Aḥzāb [33]:14; dan al-Takwīr [81]:8. Fakhry, 1994). Namun, hal tersebut tidaklah berarti bahwa umat beriman merupakan suatu komunitas sosial yang tidak memiliki agensi dan tanggung jawab etis apapun. Karena, seperti yang telah dielaborasi dengan baik oleh Alasdair MacIntyre (1984), karakter moralitas maupun tanggung jawab etis seseorang itu sangat dideterminasi oleh, dan terbentuk melalui, tradisi, termasuk agama, di mana ia tumbuh.
QS. al-Ḥujurāt [49]:13 menjadi contoh yang baik dalam menggambarkan tantangan Al-Qur’an bagi umat beriman agar dapat menyediakan suatu prinsip etis yang universal yang secara kolektif dapat diterima oleh semua komunitas dan kelompok keimanan yang beragam dan berbeda-beda. Karena, sasaran kemanusiaan dari ayat tersebut secara jelas ditandai dengan seruan yang universal. Maka tanggung jawab sosial juga merupakan bagian inhern dari diskursus etika yang dipromsikan Al-Qur’an
Apabila kita menempatkan ajaran Nabi Muhammad sebagai agama yang lahir dari rahim tradisi monoteisme dan memandang pengikutnya sebagai anggota komunitas yang berada di bawah naungan payung umat beriman, maka proklamasi etis terkait umat terbaik (khair ummah) dalam QS. Āli ‘Imrān [3]:104 juga merangkul kalangan ahl al-Kitāb, dan komunitas beriman secara umum. Pada ayat tersebut, Al-Qur’an menggambarkan bahwa komunitas ideal adalah komunitas beriman yang mengikuti tata nilai etis yang objektif dan universal, yaitu al-amr bi al-ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar.
***
Di lain tempat, Al-Qur’an menekankan pentingnya kerja sama lintas iman dalam merumuskan dan mengimplementasikan suatu tata nilai etis. Menggunakan terminologi birr, QS. al-Mā’idah [5]:2 secara eksplisit mendorong umat beriman untuk saling bantu-membantu dalam kebaikan. Tentu saja, birr di sini perlu dipahami bukan hanya sebagai gagasan etika abstrak dalam kaitannya dengan keimanan seseorang. Sebab, Al-Qur’an di banyak tempat merincikannya ke dalam perilaku konkret, seperti berderma, mendirikan salat, menunaikan zakat, menepati janji, sabar dalam menghadapi kesulitan, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain-lain (QS. al-Baqarah [2]:177; Āli ‘Imrān [3]:92; Maryam [19]:14).
Menafsirkan QS. al-Mā’idah [5]:2, Rasyid Ridha menulis bahwa perintah untuk saling membantu dalam kebaikan merupakan petunjuk sosiologis yang fundamental dari Al-Qur’an. Dalam hal ini, identifikasi nilai etis yang menjadi rujukan bagi segala perbuatan baik yang bermanfaat bagi manusia, baik pada level individu maupun masyarakat, merupakan bagian dari kewajiban agama. Dalam hal ini, penulis berpandangan bahwa ayat tersebut sedang berbicara mengenai konstruksi etika yang intersubjektif, di mana orang beriman dari beragam tradisi keagamaan bekerja sama dalam merumuskan suatu tata nilai moral yang dapat dijadikan sebagai kesepakatan kolektif untuk memandu hubungan sosial demi terciptanya masyarakat etis yang harmonis.
Harmoni dan kesepahaman sebagai fondasi komunitas beriman mendapatkan perhatian yang ekstensif pada QS. al-Ḥujurāt [49]. Dalam surah ini, bahasan etika bahkan dibicarakan secara konkret agar umat beriman dapat membayangkan perspektif dan sosialitas mereka dengan yang lain. Al-Qur’an menekankan agar orang beriman menjaga sopan santun, merendahkan suaranya ketika berinteraksi dengan yang lain, dan tidak berteriak kepada orang yang sedang berada di dalam rumah (QS. al-Ḥujurāt [49]:2-5). Al-Qur’an juga mendaftar sejumlah perilaku yang dipandang dapat menggaggu koeksistensi antar umat beriman dan menciderai solidaritas sosial mereka, seperti merendahkan, menghina, dan mencela orang lain (QS. al-Ḥujurāt [49]:11).
Pada saat konflik mengemuka di tengah-tengah komunitas, Al-Qur’an kemudian mendorong umat beriman untuk mendukung pihak yang benar. Namun, pada saat yang sama, ia mesti menjadi penengah yang dapat mendamaikan kedua belah pihak (QS. al-Ḥujurāt [49]:9). Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga melarang prasangka, terutama prasangka buruk, bagi sesama anggota komunitas beriman; melarang aktivitas memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain; dan melarang seseorang menggunjing orang lain (QS. al-Ḥujurāt [49]:12).
Persaudaraan Agama-Agama: Relasi Etis Antar Komunitas Beriman
Pada QS. al-Ḥujurāt [49]:10, Al-Qur’an menegaskan bahwa orang beriman merupakan saudara bagi orang beriman yang lain (meski berasal dari tradisi keagamaan yang berbeda). Pernyataan dalam ayat ini, demikian komentar Mohsen Qera’ati, mengandung ragam makna positif yang menggambarkan posisi sentral relasionalitas dalam mewujudkan interaksi intersubjektif antar umat beriman: antara dua pihak terdapat cinta yang mendalam dan kontinu, cinta yang resiprokal, dan cinta yang didasarkan fitrah atau watak alamiah manusia. Tidak hanya itu, seorang saudara memiliki tanggung jawab moral dalam membantu saudaranya yang lain tatkala menghadapi berbagai rintangan, tantangan, dan kesulitan hidup; menolongnya untuk mencapai tujuan bersama; dan turut berbahagia atas pencapaian dan keberhasilan saudaranya (Qera’ati, 2014, p. 170).
Persaudaran umat beriman yang dipromosikan Al-Qur’an demikian mampu merangkul keragaman dan perbedaan agama yang eksis di dunia. Lebih dari itu, persaudaraan tersebut juga secara eksplisit dihubungkan dalam aktivitas etis al-amr bi al-ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar (QS. al-Taubah [9]:71). Bahkan, keimanan seseorang mesti dimanifestasikan ke dalam suatu upaya pengorbanan konkret yang tulus dan berintegritas (mujāhadah) di jalan Tuhan, baik berupa pengorbanan material maupun non-material (QS. al-Anfāl [8]:72).
Dari sini dapat ditegaskan kembali bahwa meski mengakui nilai etika yang universal, Al-Qur’an tetap menekankan pentingnya peran intersubjektif dari komunitas beriman dalam menerjemahkan nilai-nilai tersebut agar dapat menjadi panduan moral yang konkret dan relevan bagi konteks tertentu. Dalam hal ini, perbedaan yang nyata antar agama tetap direkognisi legitimasinya. Akan tetapi, pada saat yang sama, Al-Qur’an menekankan urgensi realisasi standar-standar universal, tujuan etis, dan moralitas yang terhimpun dalam nilai kesetaraan dan keadilan. Dalam kalimat lain, bagi Al-Qur’an, terdapat suatu norma perilaku etis yang melampaui berbagai batasan dan sekat agama-agama yang partikular.
Hal demikian tentu saja diperoleh melalui perjumpaan hermeneutis, interaksi resiprokal, dan kesepahaman intersubjektif antar agama dalam menerjemahkan nilai-nilai etis yang universal itu ke dalam situasi dan kondisi di mana mereka hidup. Pada titik ini, Al-Qur’an tidak hanya menekankan perlunya dialog dan kerja sama lintas iman pada level teoretis belaka, namun juga menuntut mereka untuk terlibat secara aktif dan bekerja sama pada dimensi praktis yang konkret. Selain menekankan interfaith engagement yang terwujud dalam dialog, Al-Qur’an pun melangkah lebih jauh dengan mempromosikan interfaith involvement, di mana ragam komunitas beragama dapat terlibat dalam perumusan fondasi etis yang kelak akan menjadi rujukan bagi interaksi aktual mereka.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.