“Al-Ghazali (dituduh) telah menyembelih ayam bertelur emas”
Pernyataan ini saya dapatkan dari guru saya sewaktu mondok di Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), Mangkoso, Sulawesi Selatan. Waktu itu saya duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Saya mendengar pernyataan ini dari salah satu guru saya yang kebetulan mendapat amanah untuk mengampu mata pelajaran Tarikh Tasyri’ fii al-Islam (Sejarah Perundang-Undangan Islam).
Beliau memang dikenal oleh santri berwawasan luas dan gemar membaca. Meski usianya sudah senja. Penglihatannya juga sudah rabun sehingga beliau mengenakan kacamata saat membaca (hanya saat membaca). Bentuk kacamata yang bulat dan matanya yang sipit membuat beliau mirip Gus Dur, setidaknya begitu di mata saya.
Perihal Al-Ghazali yang Menyembelih Ayam Bertelur Emas
Entah saat itu membahas materi apa dan bagaimana pembahasan bisa nyambung ke al-Ghazali, yang masih terekam dengan jelas di ingatan saya adalah kata-kata beliau yang berbunyi, “Al-Ghazali itu telah menyembelih ayam bertelur emas karena telah membunuh filsafat dengan karangannya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf)”, dengan suara lirih dan sedikit terburu-buru (karena usia senja dan memang begitulah gaya bicara beliau).
Saya tidak ingat apakah statement itu beliau maksudkan untuk menjatuhkan Al-Ghazali atau tidak. Karena sesudahnya beliau menyebutkan nama Ibn Rusyd dan kitabnya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan Kitab Tahafut). Yang jelasnya, bagi saya yang masih kelas 2 Aliyah, kata filsafat belum familiar di telinga saya. Sehingga penjelasan itu berlalu begitu saja.
Ketika memasuki perkuliahan, saya kemudian dikenalkan dengan filsafat melalui salah satu mata kuliah yaitu Islam wa Ulum (Islam dan Ilmu Pengetahuan). Salah satu topik pembahasannya adalah hubungan antara Islam dan filsafat. Di sinilah saya menyadari bahwa filsafat memegang peranan penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Saya kemudian teringat perkataan guru saya tentang imam al-Ghazali yang dituduh mematikan filsafat.
Hal itu membuat saya bersuudzon dengan al-Ghazali untuk beberapa waktu. Terlebih lagi sebagai mahasiswa baru tentunya akan dikelilingi kajian-kajian filsafat yang membuat kekaguman saya terhadap filsafat terus bertambah, demikian juga suudzon saya terhadap al-Ghazali. Entah apa yang membuat mahasiswa (utamanya mahasiswa baru) begitu tertarik dengan kajian ini padahal bahasanya ndakik-ndakik. Atau mungkin karena bahasanya yang aneh itu (kata teman saya “bahasa alien”) yang bikin menarik. Bikin tambah keren.
Menghilangkan Suudzon
Hingga ketika semester lima, pada mata kuliah Ilmu tauhid, saya kembali dipertemukan dengan filsafat ketuhanan yang secara kebetulan dosennya memilih kitab al-I’tikad fii al-Iqtishad yang merupakan karangan Al-Ghazali sebagai muqarrar (diktat perkuliahan). Kitab ini berisikan argumen ketuhanan al-Ghazali yang dibangun dengan logika yang jelas sebagai bantahan terhadap kelompok yang meragukan eksistensi Tuhan dan juga kelompok yang menyimpang dalam memahami sifatnya.
Akhirnya suudzon saya terhadap al-Ghazali mulai sedikit berkurang, tapi belum hilang sama sekali. Saya mulai mempertanyakan apakah benar al-Ghazali telah membunuh filsafat. Padahal dalam kitab ini dia menggunakan logika filsafat yang -meminjam istilah Gus Ulil- “canggih”.
Suudzon saya terhadap al-Ghazali benar-benar hilang dan pertanyaan sayapun terjawab setelah mengikuti seminar launching buku “Sains Religus Agama Saintik: Dua Jalan Mencari Kebenaran” yang kebetulan diisi langsung oleh penulisnya, Pak Haidar Bagir dan Gus Ulil.
Gus Ulil menerangkan dengan begitu elegan tentang romantisnya hubungan filsafat dengan al-Ghazali. Sebagai pengkaji kitab-kitab al-Ghazali, Gus Ulil membela al-Ghazali dan membantah pernyataan bahwa al-Ghazali telah membunuh filsafat. Menurutnya, term filsafat pada masa lalu tidak sama dengan term filsafat masa kini.
Pembagian Filsafat Menurut Al-Ghazali
Filsafat pada masa lalu mencakup semua ilmu pengetahuan; eksakta, logika, politik, dan agama. Sedangkan filsafat saat ini kebanyakan dipahami hanya dalam arti ketuhanan. Sehingga muncul paradigma bahwa yang belajar filsafat harus mengesampingkan keyakinannya terhadap wujud tuhan terlebih dahulu.
Menurut Al-Ghazali, dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dlalal, filsafat itu terbagi menjadi 6; riyadliyat (sekarang kita mengenalnya dengan sebutan matematika), mantiqiyyat (ilmu logika), thabi’iyyat (ilmu eksakta, fisika, biologi, astronomi), ilahiyyat (ketuhanan), aqliyat (moral), dan siyasiyat (Politik).
Bagi al-Ghazali, filsafat dalam artian riyadliyat, mantiqiyyat, thabiiyyat, aqliyyat, siyasiyat kita terima dengan terbuka. Tetapi untuk ilahiyyat, kita tolak. Kenapa? Karena kita ummat Islam memiliki konsep ketuhanan tersendiri. Berbeda dengan filsafat ketuhanan yang diwariskan oleh Yunani berkiblat ke Aristoteles.
Filsafat ini berkeyakinan /menganggap alam ini qadim (tidak ada permulaannya) sebagaimana qadimnya Allah. Konsep Ini bertentangan dengan Islam. Dalam Islam Allah itu bersifat laisa kamistlihi syai’ (tidak ada yang serupa dengan-Nya). Dengan menganggap bahwa alam ini qadim maka itu berarti Allah serupa dengan makhluk-Nya. Sehingga maksud dari al-Ghazali menolak filsafat adalah filsafat dalam artian ketuhanan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Ghazali tidak pernah menyembelih ayam bertelur emas. Bisa jadi merekalah -yang menuduh al-Ghazali -sadar atau tidak sadar- telah melakukan penyembelihan itu.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply