Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Al-Ghazali: Dari Berkarya Hingga Mengkritik (1)

Imam Al-Ghazali
Sumber: islambina.com

Faktanya tidak ada yang membantah kebesaran Al-Ghazali. pasalnya di bidang tasawuf, Ihya’ Ulumddin- karya monumental al-Ghazali yang di ampuh  secara daring oleh Gus Ulil era pandemi sekarang-, ia mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik Islam sejak dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Kitab Ihya‘Ulumuddin dipenuhi dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha, tawakkal, dan lain-lain diberikan pendasaran Qur’an dan Hadits. Dari sini tak keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf Al-Ghazali adalah khuluqi amali dan bukan falsafi.

Dari dulu hingga sekarang, Al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibnu Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan (kritik) terhadapnya. Namun, kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak menggoyahkan kedudukan Al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang di suguhkan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumddin terlalu kuat untuk di patahkan. Alih-alih patah, di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pikiran-pikiran sufistik Al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansi untuk hadir kembali. Ia menyuguhkan konsep cinta (mahabbah), tauhid (monoteisme), makhafah (takut), dan ma’rifah (pengetahuan).

Seorang Filsuf

Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk cinta kepada seluruh makhluk Allah. Bahwa siapa yang menyayangi Allah dengan sendirinya menyayangi makhluk[1]makhluk ciptaan Allah. Dari konsep tauhid ini lahir misalnya semangat untuk menyatu dengan Allah dengan cara membersihkan diri dari dosa melalui medium tobat (taubat), tak mengikatkan diri pada harta dunia (zuhd) karena khawatir terjauh dari Allah, menyerahkan segala urusan kepada Allah (tawakkul), rela terhadap segala keputusan dan. Tangga-tangga spiritual ini sekiranya dijalankan secara konsisten akan mengantarkan seseorang pada derajat mengetahui Allah (ma’rifat Allah). Doktrin-doktrin spiritual seperti ini akan tetap berguna. Di tengah masyarakat modern yang kerap merasa teralienasi, kitab Ihya’ Ulumddin seperti oase yang menyejukkan.

Baca Juga  Mengambil Pelajaran dan Hikmah dari "Ahli Munafik"

Al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang sangat  produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar Negara di Mu’askar maupun ketika sebagai profesor di Bagdad, baik sewaktu skeptis di naisabur maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, ia terus berusaha menulis dan mengarang. Syekh Abdul Qadir Al-Idrusdalam ta’rif al-ihya fi fadha’il al-ihya menyatakan: ada tiga Muhammad dalam islam, yakni Muhammad bin Abdullah, penghulu segala nabi, Muhammad bin idris asy-syafi’i, penghulu segala imam, dan Muhammad Al-Ghazali, penghulu segala pengarang. Ungakapan Ismail bin Al-Hadrami ini, agaknya tak berlebihan. Kita tau jumlah buku yang di karang oleh Al-Ghazali begitu banyak dan pembahasannya juga beragam (tidak dalam suatu disiplin ilmu). Jumlah kitab yang ditulisnya sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarah. Menurut ahmad daudy, penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang Al-Ghazali adalah yang di lakukan oleh Abdurrahman al-badawi, yang hasilnya dikumpulkandalam satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.

Dalam buku tersebut, Abdurrahmah mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya Al-Ghazali dalam tiga kelompok: Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang di ragukan  sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 buah kitab.Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri dari 31 buah kitab. Kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali tersebut meliputi berbagai bidang ilmu yang poluler pada zamannya, diantaranya tentang tafsir Al-Quran, Ilmu kalam, Ushul Fiqh, Fiqh, Tasawuf, Mantiq, Falsafah, dan lain-lain. Bahkan ada yang mengatakan karya Al-Ghazali di perkirakan mencapai 300 buah. Karna itu, tak ayal lagi kalau ia mendapat julukan sang Hujjatul Islam.

Nama Imam Al-Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali) sangat populer di lingkungan umat Islam. Rasanya amat jarang pelajar Islam yang tak mengenal tokoh ini. Ia bahkan menempati kedudukan istimewa di hadapan umat Islam. Sejumlah kitab karya Al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab tasawwuf karya Al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitab Ihya‘ Ulumuddin.

Baca Juga  Makrifat

Al-Ghazali: Kritik Sampai Tasawuf

Al-Ghazali melontarkan sanggahan luar biasa keras atau kritik terhadap para pemikir filosof. Adapun yang dimaksud dengan para filosof disini dalam berbagai literatur disebutkan ialah selain Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena kedua filosof muslim ini dipandangnya sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari yunani ( Sokrates, Aristoteles, dan Plato) didunia islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut Al-Falasifah. Dalam buku ini ia mendemostrasikan kepalsuan dalam filosof beserta doktrin-doktrin mereka. Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan menghabiskan waktu selama dua tahun.

Setelah di hayati secara seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqashid Al-Falasifah (tujuan pemikiran para filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argumen yang dipergunakan para filosof. Hal itu didukung oleh pendapat Al-Ghazali yang menegaskan, bahwa menolak sebuah mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama sedalam-dalamnya berarti menolak dalam kebutaan. Perlu dipahami pendapat yang seperti di atas perlu lebih dicermati, dari kehadiran buku maqasyid al-falasifat itu dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan maksud dan tujuan filsafat para filosof, yang tentu saja menurutnya dan belum tentu cocok dengan pendapat para filosof. Pendapat ini dapat dibuktikan ketika ia mengkritik, bahkan mengkafirkan para filosof yang sebenarnya berbeda dari msksud para filosof itu sendiri.

Bersambung…

Editor: An-Najmi Fikri R