Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Akhlak

Akhlak
Sumber: Unsplash.com

Tuhan menyukai kesunyian. Terlebih kesunyian seorang hamba yang senantiasa mengakui dosa dan kesalahannya. Dia senang hati menyambutnya, dan mengampuni dosa-dosanya. Sebaliknya pula, Tuhan membenci kesunyian yang digunakan hamba-Nya untuk bermaksiat pada-Nya.

Dr. Anwar Wardah seorang cendekiawan muslim pernah menulis kisah menarik di bukunya Aku Ingat Dirimu Saat Aku Lupa Tuhanku (2016).Ada cerita tentang seorang Raja dengan menterinya.

Seorang Raja berkata kepada menterinya,
“Apa anugerah terbaik yang dimiliki seorang hamba?”.
“Akal yang membuatnya hidup” jawab sang menteri.
“jika bukan akal?”
“Akhlak yang menghiasinya.”
“Jika bukan akhlak.”
“Harta yang menutupinya.”
“Kalau bukan harta?”
“Petir yang membakarnya sehingga negara dan manusia merasa tenang darinya,” jawab sang menteri.

***

Dalam keseharian, kita sering menjumpai orang yang berakal akan lebih dihormati dan dihargai. Kecerdasan tentu akan lebih dihargai daripada kemampuan fisik atau tenaga fisik. Namun akal terasa kurang lengkap bila tidak dilengkapi dengan akhlak atau adab. Akhlak menghiasi manusia. Ia merupakan cahaya yang membuat orang dipercaya, dihargai, serta memberikan kesejukan bagi orang-orang disekitarnya.

Orang pintar tetapi tidak memiliki akhlak yang baik, ia tidak akan dihargai dan dianggap mulia martabat kedudukannya ketika kehilangan akhlaknya. Sebaliknya, orang yang tidak begitu cerdas, namun memiliki akhlak yang baik, ia akan disegani dan lebih dipercaya.

Akhlak berkait erat dengan nurani. Abi Quraish Shihab pada bukunya Lentera Hati (2006) memberi keterangan pentingnya nurani. “Kebebasan nurani yang dianugerahkan oleh agama dibarengi dengan tanggung jawab yaitu tanggung jawab nurani itu sendiri. Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, walaupun ia mengemukakan dalih-dalihnya (Qs. 75 : 14-15). Karena itulah agama menegaskan barangsiapa berbuat baik berarti dia berbuat baik kepada dirinya sendiri.   

Baca Juga  Ketika Sinyal Iman Melemah

Saat orang menanggalkan akhlaknya, orang menjadi buta nuraninya. Ia diselimuti kegelapan, ia kehilangan cahaya. Dalam situasi kalut, tidak sadar, dan dalam cengkeraman setan orang bisa begitu mudah menghilangkan akhlak. Ia tidak lagi berpikir benar atau salah apa yang diperbuat, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya. Sehingga tidak jarang, orang bisa dengan mudah membunuh, menyakiti dan menindas orang lain.

***

Pada zaman sebelum kenabian, manusia begitu kejam, bengis, amat mudah melakukan kesalahan, serta tidak tertib dan teratur. Tidak ada etika menerima tamu, tidak ada etika salam, tidak ada etika berkeluarga, etika bertetangga. Singkat cerita, di masa pra kenabian, kita menemukan manusia belum berakhlak.

Muhammad adalah nabi yang diutus untuk memperbaiki, menyempurnakan akhlak manusia. Dalam riwayat lain, Nabi ditanya oleh sahabat bahwa si A  shalatnya baik, puasanya baik, tetapi ia sering mengganggu tetangganya. Nabi pun mengatakan bahwa ia ahli neraka. Artinya, kedudukan akhlak bisa lebih tinggi dari shalat.

Agama adalah akhlak. Tidak ada agama bila tidak ada akhlak. Mustahil orang (mengaku) beragama, bila ia tidak memperbaiki akhlak. Karena sifat atau cakupannya amat luas, orang sering memisahkan atau membatasi akhlak hanya sebatas menghormati orang, memuliakan tamu dan aspek lainnya. Namun bila kita tilik, akhlak mencerminkan cara kerja seorang yang beragama menyikapi setiap persoalan hidup dengan pertimbangan akal dan moralitas.

Pudarnya akhlak yang semakin nampak di era sekarang, cenderung dianggap sebagai hal yang biasa. Modernitas seolah dibarengi dengan tanggalnya etika. Sikap hormat kita terhadap seseorang, cara pandang kita terhadap masalah tertentu,  seolah bermuara pada materi semata. Orang bisa begitu mudah menjunjung tinggi kehormatan, martabat manusia lain, dari kecerdasan, pangkat dan kedudukan. Padahal saat ia meninggalkan akhlak, maka hancurlah pangkat, derajat, dan kedudukannya.  

Baca Juga  Rabiul Awal sebagai Momentum Kemanusiaan

***

Nabi Muhammad SAW menjunjung tinggi makna akhlak. Ia adalah manusia teragung akhlaknya. Khalid Muhammad Khalid menulis dalam bukunya Kemanusiaan Muhammad (1986). Muhammad menunjukkan akhlaknya saat ditanya sahabatnya : “Ya Rasulullah, si Fulanah itu sangat tekun sekali melakukan shalat, dan jangan ditanya sedekahnya, demikian pula puasanya, hanya sayang dia berlidah pengganggu terhadap tetangga” Jawab Rasulullah saw. “…..dia berada dalam api neraka!”.

Muhammad adalah nabi yang penyayang kepada tetangganya, kepada non muslim, kepada manusia. Ini tentu berbeda dengan keadaan kita sekarang ini. Semakin pudarnya toleransi, semakin menonjolnya sentimen keagamaan, justru mengakibatkan kita melupakan tauladan kasih sayang yang ditunjukkan nabi kita. Mustahil manusia dikatakan berakhlak baik, bila ia masih membeda-bedakan saudaranya sesama manusia.

Hilangnya Aib, Hilangnya Akhlak

Saya jadi teringat kisah yang diceritakan Mohamad Sobary di bukunya Pil Koplo dan Don Quixote (2000). Sobary mengisahkan ada seorang pemuda hendak mencuri ayam. Sebelum mencuri, pemuda ini mondar-mandir ke pekarangan ayam tetangganya. Ia justru gelisah. Di saat gelisah itu, ia ketahuan yang punya rumah. Tuan rumah ini justru mengatakan : “Oh, kamu pemuda. Uang ini saya rasa cukup untuk kebutuhanmu. Namun jangan ulangi lagi perbuatanmu.” Pemuda itu merasa aibnya ketahuan, ia malu. Ia semakin menjauh, dari desa, kecamatan, kabupaten. Ia tak menampakkan diri lagi.

Aib sudah tanggal. Orang makin kehilangan urat malunya. Saat sendirian, saat sepi justru orang bisa dengan mudah untuk melakukan “aib”. Orang berakhlak sejati, ia akan malu saat aibnya dibuka. A’a Gym sering berujar dalam ceramahnya, bahwa kita masih beruntung Tuhan tidak menampakkan aib kita.

Di masa sekarang, saat aib sudah disembunyikan, di saat dosa dan kesalahan kita ditutupi, anehnya kita tidak merasa bersalah kepada Tuhan. Justru seolah biasa saja setelah melakukan kesalahan. Kepada siapa hendak meminta pertolongan dan ampunan, saat aib kita diperlihatkan kelak kalau bukan pada-Nya.

Baca Juga  Pandemi, Nabi Adam dan Pohon Khuldi

Akhlak kitalah yang membawa kita selamat di mata manusia dan di mata Tuhan. Dengan menjalani fitrah kita sebagai manusia yang berakhlak baik, tentu saja kebahagiaan dan juga ketenteraman akan kita raih. Sebaliknya, bila akhlak kita buruk, secara pelan-pelan kita telah membunuh dan merusak diri kita sendiri.

Editor: Ananul NH

Arif Saifudin Yudistira. Lahir di Cilacap, 30 Juni 1988. Esais dan Peresensi Buku. Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pengasuh MIM PK Kartasura, Pegiat Bilik Literasi SOLO. Ketua Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah Rumpun Komunitas. Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo