Tak bisa dipungkiri sekitar abad ke-8 dan 13 M, Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dalam segala aspek dengan penguasaan penuh terhadap pelbagai bidang disiplin ilmu. Seperti filsafat, teknologi, matematika, kedokteran dan lain-lain. Sehingga pada masa itu, Islam tengah menjadi kiblat (pusat) peradaban dunia tatkala Barat beserta belahan dunia lainnya berada pada fase ‘kegelapan’. Kejayaan gilang-gemilang yang dicapai umat Islam ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam (al-Quran dan hadis) sendiri.
Ilmuwan muslim pada saat itu mampu menangkap (memahami) ajaran, pesan dan hikmah yang terkandung di dalam ajaran Islam. Misalnya, Islam sebagai agama senantiasa menganjurkan atau mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dengan mewajibkan kepada pemeluknya (kaum muslim) untuk menuntut ilmu dari sejak lahir hingga ajal menjemputnya.
Kemunduran Umat Islam di Bidang Ilmu Pengetahuan
Pun mereka banyak melakukan penelitian ilmiah dan penerjemahan terhadap pelbagai disiplin ilmu. Dan banyak pula menghasilkan karya atau buku-buku beserta penemuan-penemuan baru yang berguna bagi ilmuwan setelahnya. Sehingga para ilmuwan-ilmuwan besar pada saat itu dapat dengan mudah ditemukan.
Namun demikian, di zaman kiwari ini mengapa umat Islam justru mengalami kemunduran di bidang sains dan teknologi? Bukankah Islam agama yang menjunjung tinggi kemajuan ilmu pengetahuan? Bahkan di antara sekian banyak para penganut agama-agama besar di muka bumi ini, Islam-lah agama yang paling terbelakang di bidang IPTEK.
Keterbelakangan ini, tentu menjadi problem yang sangat krusial bagi (kaum Muslim) di seluruh belahan dunia. Bahkan, sebagian orientalis (Eropa dan Barat) menganggap bahwa Islam adalah agama yang anti kemajuan (ilmu pengetahuan) dan musuh utama peradaban modern Barat. Sebagaimana pernyataan Samuel P. Huntington, bahwa setelah ideologi komunisme runtuh maka yang menjadi musuh Barat selanjutnya adalah Islam.
Pandangan sebagian mereka tersebut bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa negara-negara yang banyak dihuni umat Islam pada umumnya berada dalam kemunduran. Sehingga, ia memiliki ketergantungan sangat besar pada negara Barat. Namun apabila umat Islam menginginkan kembali masa kejayaannya, maka harus melakukan perubahan pada cara berpikir mereka dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Merumuskan Kembali Epistemologi Islam
Akan tetapi, perubahan tersebut menuntut adanya perumusan kembali “epistemologi Islam” yang relevan dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan terhadap semangat ajaran Islam yang mulia. Tentu pertanyaan yang muncul dalam benak, mengapa harus epistemologi? Karena epistemologi berkait-kelindan dengan ilmu pengetahuan. Ia adalah suatu metode untuk memperoleh sebuah ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai instrumen untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang kemudian dapat digunakan untuk mengejar ketertinggalan umat Islam di bidang Iptek saat ini. Di antaranya adalah: pertama, epistemologi bayani. Epistemologi ini memandang bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan berpijak pada wahyu (teks kitab suci), baik secara langsung (teks sebagai pengetahuan jadi) ataupun tidak secara langsung (melakukan penalaran dengan berpedoman pada teks).
Kedua, epistemologi irfani, suatu epistemologi yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui kehendak atau intuisi (hati atau perasaan). Menariknya, ia memiliki metode khas dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai kasyf. Bahkan, menolak terhadap penalaran (rasional). Biasanya, penganut epistemologi ini adalah para sufi. Sehingga teori-teorinya dijelaskan secara metafora. Karena menekankan pada aspek rasa daripada penjelasan.
Ketiga, epistemologi burhani, yakni epistemologi yang menekankan pada aspek akal (rasional) dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Karena menurutnya, akal memiliki kemampuan untuk menemukan pelbagai macam pengetahuan. Bahkan dalam agama sekalipun, akal mampu mengetahui persoalan mana yang baik dan buruk misalnya. Di bidang keagamaan, epistemologi ini lebih banyak digunakan oleh kelompok atau aliran ilmu kalam berpaham rasionalis, seperti Muktazilah.
Ketiga epistemologi ini, tampaknya mendapatkan legitimasi dari Al-Quran. Banyak ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang membahas ihwal pengetahuan yang bersumber pada rasio (akal). Itu artinya, akal sebagai salah satu sumber untuk memperoleh pengetahuan, memiliki porsi tersendiri di samping sumber pengetahuan lian.
Memaksimalkan Nalar Burhani
Kendati demikian, pada perkembangannya kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam mengaksentuasikan bayani dan irfani daripada epistemologi burhani secara maksimal. Meskipun dalam bayani sebenarnya terdapat penggunaan rasio. Tetapi porsinya relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Sehingga menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespons perkembangan zaman.
Oleh karenanya, hal inilah kemudian yang diperkirakan menjadi faktor utama penyebab keterbelakangan umat Islam di bidang IPTEK saat ini. Maka seyogianya umat Islam mengaksentuasikan epistemologi burhani ini dengan tetap berpegang pada bayani dan irfani.
Agar kemajuan yang dicapainya tidak menimbulkan dehumanisasi dan bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Sebab, keduanya (bayani dan irfani) merupakan fondasi utama bagi umat Islam dalam melakoni kehidupan dan sekaligus manifestasi dari keimanannya.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply