Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kekuatan untuk memakmurkan bumi dengan potensi berpikir. Salah satunya adalah akal. Dengan akal, manusia dapat mengolah informasi, menciptakan sesuatu, juga mengelola bumi dengan baik. Tuntunan akal menuju pada kemakmuran bumi memiliki koherensi dengan wilayah substantif peran manusia ketika diciptakan oleh-Nya.
Peran khalifah dapat mewujud apabila manusia dapat mendayagunakan akalnya untuk kemakmuran kehidupan, bukan hanya untuk dirinya akan tetapi berdampak positif pula pada alam semesta.
Tentang hal ini, Islam sangat menekankan pentingnya akal pada kehidupan manusia. Bahkan dalam al-Qur’an, kata akal sering disebut terutama dalam konteks kata kerja (fi’il mudhari’) misalnya ya’qiluna (mereka mengerti atau memahami), ta’qilun (kalian mengerti atau memahami), juga derivasi lainnya. Penyebutan dengan kata kerja meneguhkan bahwa akal berada dalam mekanisme proses ketika berhubungan dengan apa yang diperhatikan oleh manusia.
Dari ayat-ayat yang berkaitan dengan pemikiran, dapat diidentifikasi pentingnya memahami bagaimana al-Qur’an memaparkan organ dan potensi berpikir, yaitu al-‘aql (akal). Dalam bahasa Inggris, akal sering disepadankan dengan intellect.
Sekilas tentang Potensi Berpikir
Akal atau budi adalah organ spiritual (non-materi) yang vital yang mampu mengkonseptualisasikan dan mempertahankan makna yang memungkinkan manusia memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk keberhasilan hidup mereka di dunia. Akal memiliki potensi untuk konseptualisasi berpikir.
Muhammad Asad (2010) dalam The Message of the Qur’ān: Translated and explained menyebut intelek sebagai kemampuan tertinggi manusia, yang membuat mereka mampu merenungkan Kebesaran Tuhan. Karunia akal membuat manusia dapat memikul beban sebagai khalifah di bumi dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dalam https://www.dictionary.com/browse/intellect, akal merupakan kekuatan atau kemampuan pikiran yang dengannya seseorang mengetahui atau memahami, yang berbeda dari yang dirasakan atau yang dikehendaki; pemahaman; kemampuan berpikir dan memperoleh pengetahuan; kapasitas untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan, terutama yang tinggi atau kompleks; atau kapasitas mental.
***
Dalam filsafat klasik dan filsafat abad pertengahan, akal budi (nous) adalah subjek dari pertanyaan “bagaimana orang mengetahui sesuatu?”. Pada Zaman Kuno Akhir dan Abad Pertengahan, akal budi merupakan sarana konseptual untuk mendamaikan monoteisme religius dengan studi filosofis atau ilmiah tentang Alam. Herbert Davidson (1992) dalam Alfarabi, Avicenna, and Averroes, on Intellect, menyebutkan bahwa rekonsiliasi ini menjadikan akal budi sebagai penghubung antara jiwa manusia secara individu, dan “kecerdasan Ilahi” dalam kosmos. Aristoteles pertama kali mengembangkan hal ini dengan membedakan antara intelek pasif dan intelek aktif.
Jiwa rasional dalam diri manusia berlimpah keajaiban, baik dalam pengetahuan maupun kekuasaan. Dengannya, manusia menguasai seni dan ilmu pengetahuan, dapat memetakan langit dan mengukur jarak di antara mereka. Ia pun dapat menarik ikan dari laut dan burung-burung dari udara, dan dapat menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta, dan kuda. Uraian ini pernah dikemukakan oleh al-Ghazali dalam ‘Aja’ib al-Qalb, yang diterjemahkan menjadi The Wonder of Heart (2007)
Penyebutan Akal dalam Al-Qur’an
Dengan mengutip pendapat Jamal dan Musthafa, kata akal atau al-‘aql sebagai kata benda (isim) tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Akan tetapi, turunan kata ini muncul 49 kali dalam al-Qur’an dalam bentuk kata kerja masa kini atau masa depan (fi’il mudhari’) ta’qilūn (24 kali), ya’qilūn (22 kali), a’qilu dan ya’qilu, dan satu kali dalam bentuk kata kerja masa lampau (fi’il madhi), yaitu ‘aqala. Penggunaan al-‘aql dalam bentuk kata kerja menyampaikan pesan bahwa al-Qur’an menekankan pada pengamalan pengetahuan teoritis.
Secara harfiah, kata al-‘aql dalam bahasa Arab berarti mengikat atau menahan. Arti ini misalnya dapat ditemukan pada al-Mawrid al-Wasīṭ Kamus Ringkas Bahasa Arab-Inggris (1996). Kata Arab al-‘aql dalam bahasa Arab diartikan pula menjadi dikaruniai akal, memiliki kecerdasan, memiliki memahami, mengerti, atau memahami. Akal budi, dalam pengertiannya yang tertinggi adalah kekuatan luhur yang mampu menerima penyingkapan cahaya murni dari Tuhan. Dalam pengertian terendahnya, akal adalah kekuatan penalaran biasa.
***
Al-Attas dalam The Concept of Education in Islam: aFramework for an Islamic Philosophy of Education (1988) mendefinisikan al-‘aql sebagai sifat bawaan yang mengikat dan menahan objek-objek pengetahuan melalui kata-kata. Dari perspektif etis, al-‘aql berarti mengikat atau menahan orang dari mengikuti keinginan dasar mereka.
Ketika para malaikat bertanya, “Maukah Engkau menempatkan di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan padanya dan akan menumpahkan darah?” (QS. al-Baqarah:30), Allah Swt menjawab dengan mengatakan bahwa, “Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.
Hal ini dapat berarti bahwa al-‘aql yang diberikan kepada manusia tidak hanya mampu menyimpan dan mengkonseptualisasikan makna, tetapi juga mampu berpikir etis atau sampai pada pengetahuan etis yang dapat mencegah mereka dari perbuatan tidak bermoral seperti pembunuhan. Terkait hal ini Al-Sharqawī setuju bahwa al-‘aql mencegah manusia untuk melampaui batas etika yang akan menjadi kehancuran dirinya.
***
Selain itu, Crow dan Karim Douglas, dalam Between Wisdom and Reason: Aspects of ‘Aql (Mind-Cognition) In Early Islam,” (1999) menegaskan bahwa unsur utama dalam makna al-‘aql adalah kecerdasan spiritual etis yang merupakan prasyarat untuk pencapaian kebijaksanaan. Akal adalah sumber dan mata air pengetahuan serta fondasinya.
Al-Ghazālī dengan indah menggambarkan hubungan antara pengetahuan dan akal sebagai buah-buahan yang muncul dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata. Menurut al-Isfahanī, akal tidak hanya mampu melakukan persepsi rasional, tetapi juga mampu melakukan persepsi spiritual. Wallahu A’lam.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.