Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ahmad Rafiq: Memahami “Terminological Trap” Pada Living Qur’an

Ahmad Rafiq
Sumber: https://iatmagister.uin-suka.ac.id/

Pada hari Senin, 20 Februari 2023, Program Magister IAT UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta telah melaksanakan Kuliah Umum dengan tema “Pendekatan dalam Studi Al-Qur’an: Tafsir Maqashidi dan Living Qur’an”—yang disampaikan oleh dua Narasumber, Prof.Dr.Abdul Mustaqim, M.Ag dan Ahmad Rafiq, S.Ag, M.A, Ph.D.

Materi selanjutnya disampaikan oleh Ahmad Rafiq, S.Ag, M.Ag, ph.D. beliau merupakan Ketua Program Studi Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Beliau juga merupakan dosen sekaligus pengampu kajian qur’an di Masjid Jenderal Sudirman atau yang lebih dikenal dengan istilah MJS Colombo.

Terminologi Trap Living Qur’an

Dalam kesempatan ini, beliau menyampaikan materi tentang Living Qur’an. Beliau mengatakan—bahwa dalam membicarakan Living Qur’an, seringkali orang terjebak pada ‘Terminological Trap’. Orang kerap memperdebatkan Living Qur’an dari aspek terminology semata. Maka ada 2 kecenderungan paradox, Pertama, seseorang berbicara term/ istilah—tapi tidak memiliki substansi. Misalnya ketika berbicara living qur’an, selalu mengaitkan segalanya dengan tradisi dsb. Kedua, seseorang berbicara tentang term—namun misplaced. Artinya masih salah menempatkan makna Living Qur’an itu sendiri. Maka fenomena seperti ini seringkali terjadi. Misalnya Living Qur’an dipersempit maknanya dengan tradisi pembacaan Al-Qur’an, Pembacaan Yasin, dlsb. Jika ditelisik lebih lanjut—mungkin sebagai praktik bisa diartikan demikian. Tapi jika dalam ranah akademik, maka belum menemukan problem akademiknya.

Dalam diskursus Studi Agam-agama, Living Qur’an digunakan untuk menyebut fenomena agama yang hidup/ tidak statis/dinamis. Dalam hal ini, Pak Rafiq memberikan sebuah contoh. Misalnya pada masa sahabat, dalam hal penerimaan wahyu saja seringkali terjadi perbedaan. Apalagi dalam hal praktik. Contohnya Surat Al-Ikhlas dibaca sebelum tidur, Al-Ikhlas diyakini sebagai surat yang dibaca sebanyak tiga kali disamakan dengan mengkhatamkan Al-Quran, dan Surat Al-Ikhlas diyakini sebagai surat istimewa karena setiap jengkal ayat selalu menyebut nama Tuhan. Maka—perbedaan / fenomena sosial telah ada sejak zaman Nabi.

Baca Juga  Reinterpretasi Amina Wadud atas QS. Al-Ahzab 33

Living Qur’an dapat diartikan dengan sebuah contoh adanya komunitas yang mendawamkan membaca surat Al-Waqi’ah, maka di dalamnya ada dinamika fenomena teks dan fenomena sosial yang berbeda. Jika melihat pada masa Nabi—tradisi pembacaan surat al-Waqi’ah tidak ada, apalagi dikaitkan dengan penambahan rizqi. Maka—inilah yang terjadi, tidak muncul pada masa nabi—namun berlangsung dan tetap lestari. Itulah yang dinamakan Living Qur’an: Dinamis dalam hal praktek. Maka bisa dikatakan—Living Qur’an itu bukan pendekatan. Namun lebih tepatnya adalah fenomena teks atau the life Al-Qur’an dan fenomena tersebut dibungkus secara konseptual.