Tokoh sufi sekaligus sosok pengarang kasidah burdah, yaitu Imam al-Bushiri menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam bait-bait al-burdah. Salah satunya tentang nafsu, yaitu seperti bayi yang masih menyusu pada ibunya. Jika dibiarkan maka ia tidak akan berhenti dan akan terus bergantung pada susu itu. Tetapi jika dihentikan maka ia akan berhenti walaupun awalnya menangis. Dengan demikan, dapat dipahami bahwa nafsu itu benar-benar harus di administrasikan dengan baik. Allah menyebutkan dalam kalam-Nya:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9)
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (QS. as-Syams [91]: 7-9).
Dalam surah asy-Syams, setelah bersumpah atas nama matahari, bulan, siang, malam, langit dan bumi. Kemudian Allah bersumpah demi jiwa yaitu nafs yang telah Allah sempurnakan penciptaannya. Maka diilhamkan pada nafs ada dua hal yang seakan itu berlawanan. Yaitu fujur berupa sikap buruk seperti fasiq, sombong, dusta dan sebagainya.
Kemudian taqwa berupa sikap baik seperti rendah hati, jujur, sabar dan sebagainya. Setelah itu, diterangkan bahwa Allah menjamin dan benar-benar ditegaskan bagi orang-orang yang mampu menata administrasi jiwa dengan baik. Maka hidupnya cenderung akan terus berbahagia.
Analogi Pembersihan Jiwa
Mengelola administrasi jiwa atau nafs dengan baik adalah kunci untuk mencapai aflah yaitu kebahagiaan yang sebenarnya. Ketika kita membuka terjemahan dalam mushaf Al-Qur’an, ditemukan bahwa kata zakkaha dalam surah asy-Syams ayat 9itu di artikan dengan “menyucikannya”.
Jadi, jika kita ingin menata dan mengelola jiwa atau nafs ini yaitu dengan menyucikannya. Ketika kita analogikan seperti pakaian kotor yang di cuci, maka tentulah yang dihilangkan adalah kotorannya bukan pakaiannya. Pakaian tersebut dicuci sebab kotor karena jika tidak kotor tidak mungkin pakaian itu dicuci. Kemudian adanya kotoran itu bukanlah untuk mengotori pakaiannya. Orang yang memakai pakaian tersebut lah yang mengotorinya dan adanya kotoran itu untuk menunjukkan kebersihannya sebab jika tidak ada kotor, maka tidak akan ada yang mengetahui kebersihannya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui itu bersih, maka ditampakkan yang kotornya sebagai pembandingnya. Begitu pula, bagaimana cara mengetahui sikap orang itu baik, maka ditampilkan yang buruknya sebagai pembandingnya. Maka dari itu, keburukan atau kotoran itu ada bukan untuk menunjukkan buruk atau kotornya itu. Tapi justru ingin menampilkan kebaikan atau kebersihan di balik keburukan atau kotoran itu. Maka mencuci itu untuk membersihkan dari kotoran bukan membuang benda yang di bersihkannya.
Ketika anologi ini kita tarik ke surah asy-Syams ayat 8, maka bahwa Allah menciptakan fujur bukan untuk menjadikan manusia itu terjebak pada keburukan. Tapi justru untuk menampilkan kebaikan di balik keburukan itu. Jadi, jangan sampai bertanya “kenapa Allah menciptakan keburukan, jika Allah tidak menciptakan keburukan, maka pasti manusia tidak ada yang berbuat buruk?”
Ini kerancuan pemikiran. Karena bukan seperti itu. Allah menciptakan fujur segala yang cenderung pada keburukan itu agar bisa menstimulus, artinya agar kebaikan itu muncul. Contoh sederhananya seperti sikap jujur karena ada sikap dusta. Jadi ketika dusta itu ada bukan untuk menjadikan kita sebagai pendusta, tapi justru ingin memunculkan sikap jujur kepada jiwa kita.
Fujur, Taqwa, Nafs, Qalb dan Shadr
Jiwa atau nafs itu berada di dalam qalb atau sering kita artikan sebagai hati, dan qalb berada di dalam shadr atau di artikan dada. Jiwa memiliki dua kecenderungan, yaitu fujur dan taqwa. Ketika muncul hal-hal kebaikan, maka itu asalnya dari taqwa. Jiwa merespon sampai ke qalb hingga ke shadr dan ditembuskan langsung ke aql atau akal. Kemudian keluarlah menjadi tindakan-tindakan, jika keluarnya yang buruk berarti berasal dari fujur.
Allah sampaikan dalam surah an-Nisa ayat 118 yang artinya “Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya)” yang dimaksud setan mendapatkan bagian adalah fujur itulah untuk menggoda manusia. Setan memberi bisikkan kepada manusia lewat shadr jamaknya shudur di sebutkan dalam surah an-Nas “alladzi yuwaswisufi shudurinnas”
Lewat shadr untuk mengeluarkan yang fujur itu, dan perbuatan buruk itu di sebut dengan “suu’”, karena untuk sampai ke fujur itu melewati nafs maka jadilah nafsu, di temukan dalam surah Yusuf ayat 53 “innannafsa la ammaratum bissuu’” bahwa nafsu itu mendorong kepada yang buruk. Asalnya nafs itu netral di dalamnya ada fujur dan taqwa, yang buruk itu ada agar yang baik itu muncul dan mampu keluar menjadi tindakan-tindakan positif.
Pengelolaan Administrasi Jiwa
Jika suatu saat muncul dorongan yang cenderung kepada keburukan atau fujur itu sebenarnya bukan untuk membentuk jiwa menjadi buruk, tetapi seharusnya menstimulus untuk memunculkan kebaikan kepada jiwa. Ketika datang seseorang dengan keburukan, maka itu menjadi pelajaran bagi kita agar tidak ikut menjadi buruk dan yang di munculkan adalah kebaikannya. Contoh prakteknya misal kita memiliki teman yang sombong, maka itu di hadirkan bukan untuk menjadikan kita ikutan sombong, tapi untuk memunculkan sikap rendah hati pada diri kita, agar bisa mengajarkannya dan mengembalikan dia ke sikap rendah hatinya.
Jika semua ini bisa dilakukan walaupun pasti bukanlah hal mudah untuk mengerjakannya, maka Allah sungguh menjamin hidupnya akan cenderung bahagia. Problem utamanya ialah setan, karena setan selalu berusaha untuk memunculkan keburukan selama kita masih hidup di dunia. Di sinilah pentingnya administrasi jiwa
Pengelolaan administrasi jiwa yang baik, sehingga tidak didominasi oleh hal-hal keburukan, maka setiap mendapatkan kekurangan-kekurangan atau hal kurang positif yang ditemui, maka bersegeralah munculkan lawan positif nya, cepat keluarkan hal-hal baik. Terkadang keburukan itu ada di orang lain dan sasaran hikmahnya itu untuk diri kita, misalnya bisa jadi tetangga yang sakit itu bukan untuk menunjukkan dia sakit, tapi Allah ingin menguji ketika tetangga kita sakit, sikap kita bagaimana. Semoga kita semua bisa mengelola adminastrasi jiwa dengan baik dan dimudahkan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Aamiin allahumma aamiin. Wallahu a’lam bisshawab
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply