Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Adam Bukan Manusia Pertama!: Telaah Kembali Al-Baqarah Ayat 30

Manusia Pertama
Gambar: merdeka.com

Keyakinan Adam sebagai manusia pertama telah menjadi keyakinan umum dan kuat di internal umat Islam. Padahal kalau kita ingin mengkaji kembali ayat-ayat Al-Qur’an, masih terbuka lebar kemungkinan hadirnya pendapat lain. Bahkan dapat mengantarkan kita pada pemahaman bahwa Al-Qur’an tidak pernah secara terang-terangan atau tegas menyebut Adam sebagai manusia pertama.  

Oleh karena itu tulisan ini akan coba menguraikan pendapat lain soal status Adam sebagai pertama serta argumen-argumen di baliknya. Uraian dan paparan mengenai hal ini akan menghasilkan satu gambaran sikap umat Islam terhadap perkembangan sains atau ilmu pengetahuan. 

Dasar Adam sebagai Manusia Pertama

Dalam tafsir-tafsir klasik keyakinan Adam sebagai manusia pertama masih cukup kuat dan kokoh. Hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai tema ini. Dasar yang umumnya digunakan untuk mendukung pendapatnya adalah QS. Al-Baqarah ayat 30. 

Dalam ayat ini, sebagaimana kita tahu, dijelaskan bahwa Allah ingin menciptakan khalifah di muka bumi. Khalifah yang dimaksud ialah Adam. Ia diciptakan dari tanah. Selain itu Allah juga menganugerahinya beberapa kemuliaan, salah satunya akal. Akal inilah yang membuatnya menjadi mahluk yang unik dan istimewa. 

Bagi beberapa kalangan, penyebutan Adam sebagai khalifah pada ayat itu menunjukkan bahwa ia adalah manusia pertama dan sekaligus nenek moyang umat manusia.

Reinterpretasi Al-Qur’an 

Namun pendapat yang menjadikan Al-Baqarah ayat 30 sebagai dasar Adam manusia pertama itu sebenarnya masih dapat dipertanyakan kembali dan membuka kemungkinan bagi hadirnya pendapat lain. Sebab pada ayat itu tidak ada frasa yang secara spesifik menyebut Adam adalah manusia yang pertama. 

Sebaliknya, kita malah melihat fakta lain dari pertanyaan dan gugatan malaikat. Ketika Allah mengumumkan niat-Nya untuk menciptakan khalifah di muka bumi, malaikat justru menunjukkan sikap yang skeptis. Malaikat berkata, “Apakah engkau akan menciptakan di dalamnya (bumi) orang-orang yang berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah?”. 

Baca Juga  Tafsir atas Akal: Gerak Ganda Masalah Sosial dan Fungsinya

Bagi beberapa orang, pertanyaan dan gugatan malaikat ini memberikan satu isyarat. Yakni isyarat bahwa sebelumnya telah ada mahluk sejenis Adam yang menghuni bumi dan mereka berbuat kerusakan di dalamnya. Atas dasar itulah para malaikat menaruh sikap skeptis ketika Allah ingin menciptakan khalifah di muka bumi. Karena ia telah memiliki gambaran mengenai perilaku penghuni bumi sebelum-sebelumnya. 

Lagipula kata “khalifah” dalam ayat itu tidak selalu berarti bahwa Adam manusia pertama. “Khalifah” di situ dapat diartikan kalau Adam ialah mahluk pertama yang mengemban misi ketuhanan, yakni merawat dan melestarikan bumi. Kualitas inilah yang membedakannya dengan penghuni bumi sebelumnya. Jika mereka cenderung berbuat kerusakan, maka tidak dengan Adam. Tampilnya Adam diniatkan hadir dengan wajah yang berbeda. Yakni tampil dengan sikap Tuhan, terutama dalam hal rahman dan rahim-Nya. 

Pemahaman seperti ini juga dapat kita lihat pada QS. al-Isra ayat 70. Allah berfirman, “Dan sungguh, kami telah muliakan anak-anak dan cucu-cucu Adam.” Frasa ini menunjukkan bahwa Adam beserta keturunannya telah dimuliakan oleh Tuhan. Terutama dengan tugas dan mandatnya sebagai khalifah. Selain itu, ayat ini juga mengandung isyarat bahwa mahluk-mahluk bumi sebelumnya tidak mendapat posisi dan kedudukan yang setara dengan Adam, terutama karena kebiasaannya yang merusak dan gemar menumpahkan darah. 

Pandangan Tafsir Modern

Berbeda dengan tafsir-tafsir klasik yang cenderung menerima pandangan Adam sebagai manusia pertama, tafsir-tafsir modern tampil dengan sedikit lebih berani. Bahkan dalam kadar tertentu bisa disebut menggugat. Muhammad Abduh misalnya. Pemilik Tafsir al-Manar itu menganggap bahwa ada manusia sebelum Adam. Rasyid Ridha menulis: 

Ustadz (Abduh) berkata: “Adam bukanlah mahluk pertama yang diciptakan di muka bumi ini. Ia hanyalah bagian dari mahluk baru yang berakal.”

Menurut Abduh, al-Hinn adalah manusia yang hidup sebelum Adam, sedangkan al-Binn merupakan makhluk halus yang ada sebelum jin. Semua makhluk ini menjadi perusak di bumi hingga Allah menghancurkan mereka dengan pasukan terbaru dari kalangan malaikat dan jin.

Baca Juga  Makna 'Ilm Era Pra Islam dan Pasca Islam

Begitupun dengan Ibnu Asyur. Sebagai mufassir yang terhitung sezaman dengan Abduh, ia berpandangan kalau Adam bukan manusia pertama. Sebelum Adam telah ada mahluk-mahluk lain yang dinamakan al-Hinn dan al-Binn. Mereka dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun mereka punya sikap yang buruk dan sering berbuat kerusakan. 

Adapun Quraish Shihab mengambil sikap yang cukup tengahan. Ia mengatakan jangan terburu-buru menyatakan Adam sebagai manusia pertama dan mengklaimnya berasal dari Al-Qur’an. Sebaliknya, bagi mereka yang berkeyakinan Adam bukan manusia pertama berdasarkan sains, tidak perlu juga untuk mencari pembenarannya di Al-Qur’an. Hanya saja, Quraish juga berpesan agar umat Islam jangan tertutup apalagi anti terhadap sains dan penemuan-penemuan yang disampaikannya.

Uraian Sains tentang Manusia Pertama

Dari penelusuran sejarah dan berdasarkan bukti-bukti arkeologis, ditemukan bahwa Adam bukanlah sosok manusia pertama di bumi. Sebelum itu telah ada manusia purba yang berumur lebih tua. Sebagaimana diketahui, Adam hidup sekitar 8000-33.000 tahun yang lalu (masih terdapat perdebatan soal angka ini). Sedangkan sebelum itu telah ada mahluk-mahluk lain. 

Penemuan fosil dan artefak menunjukkan dan mengisyaratkan bahwa Homo Sapiens bukanlah spesies pertama yang menghuni bumi. Di kalangan ilmuwan terdapat penemuan tentang berbagai jenis manusia purba sebelum Sapiens, seperti Neanderthal dan Homo Habilis.

Karena itu pertanyaan berikutnya, dengan adanya penemuan-penemuan itu, bisakah tesis Adam sebagai manusia pertama masih kita pertahankan? Jika kita tetap bertahan dengan tesis Adam sebagai manusia pertama, maka secara tidak langsung kita telah menunjukkan bahwa Islam demikian tertutup dengan penemuan-penemuan sains kontemporer. Padahal itu sangat jauh dari sifat Islam yang begitu menghargai ilmu pengetahuan. 

Kesimpulan

Kita tidak perlu takut untuk membatalkan tesis Adam sebagai manusia pertama di muka bumi. Membatalkan tesis itu tidak berarti kita lebih mengutamakan sains daripada Al-Qur’an. Karena sejatinya, sebagaimana ditegaskan di depan, Al-Qur’an tidak pernah secara eksplisit menyebut Adam sebagai manusia pertama. Al-Qur’an hanya menyebut Adam sebagai khalifah yang akan diturunkan Allah di muka bumi. Justru, yang lebih banyak memproduksi pemahaman bahwa Adam sebagai manusia pertama adalah para mufassir.

Baca Juga  Mufasir Progresif (1): Karakteristik dan Metode Penafsiran
Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026.