Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan sebagai pedoman hidup bagi umat islam untuk mencapai kehidupan yang diridhai Allah Swt hal itu menjadikan al-Qur’an sangat dijungjung tinggi serta dimuliakan. Oleh karena itu, umat islam berusaha memahami apa yang terkandung di dalam al-Qur’an tersebut.
Untuk memahami kandungan yang ada di dalam al-Qur’an tentunya tidak serta merta cukup membacanya saja, ada kegiatan yang dilakukan untuk bisa memahami al-Quran lebih dalam, kegiatan demikian sering disebut dengan penafsiran al-Qur’an. Para ulama telah melakukan penafsiran sejak lama bahkan sejak masa Islam klasik yang lazim disebut tafsir klasik.
Tafsir klasik tersebut populer dan dominan di kalangan umat muslim bahkan sampai sekarang. Corak dari produk tafsir klasik cenderung tekstualis yang berpegang teguh pada makna literal teks tanpa memperhatikan konteksnya. Hal ini yang menjadi salah satu keresahan dari seorang pemikir kontemporer Abdullah Saeed.
Abdullah Saeed dan Solusi dari Keresahan
Berdasar dari keresahan tersebut Saeed kemudian menggagas suatu pemikiran yang disebutnya penafsiran kontekstual. Menurutnya dalam menafsirkan al-Qur’an untuk bisa relevan dengan kondisi muslim kontemporer tidak cukup hanya bergantung pada teks saja.
Gagasan utama dari penafsiran kontekstual adalah pada gagasan konteksnya. Ini merupakan upaya memberi perhatian pada aspek sosio-historis, ekonomi, politik, kultural dan intelektual saat al-Qur’an turun yang disebutnya konteks makro 1, serta kondisi tempat penafsiran sedang terjadi saat ini yang disebut konteks makro 2.
Menurutnya, umat Islam perlu memikirkan kembali penafsiran dan hasil tafsir yang bercorak tekstual. Penafsiran dengan pendekatan yang tekstual mengakibatkan kegagalan dalam memberi keadilan yang utuh atas ayat tertentu sehingga ditafsirkan tidak semestinya (Saeed, 2014). Hal tersebut mendapat perhatian yang cukup besar dari Abdullah Saeed.
Gagasan Kunci dan Teori
Gagasan besarnya ini, Saeed rumuskan dan rancang dengan argumentasi dan metodologi yang sistematis. Ini menjadikan bangunan keilmuannya terstruktur dan jelas. Tentunya hal ini sangat bermanfaat bagi umat muslim untuk dapat memahami al-Qur’an dengan pendekatan yang berbeda.
Dalam memperkenalkan gagasannya, yang pertama, Saeed menjelaskan mengenai konsep wahyu dan ilham dalam penafsiran. Menurutnya sebagaimana dikutip Sahiron dalam pengantar buku Penafsiran Kontekstualis atas Al-Qur’an, bahwa Wahyu mengalami empat level proses.
Level pertama, wahyu diturunkan oleh Allah dari Lauh al Mahfuzh ke langit dunia lalu kepada malaikat Jibril. Lalu level kedua, wahyu disampaikan oleh malaikat kepada Nabi Muhammad Saw. Level ketiga, nabi Muhammad menyampaikan wahyu tersebut kepada umatnya pada tahap ini wahyu mulai ditafsirkan. Level keempat, ilham/inspirasi terus diberikan Allah kepada umat Islam setelah wafatnya Rasulullah (Saeed, 2017).
Yang kedua, Saeed menjelaskan bahwa penafsiran al-Qur’an telah berlangsung sejak sekian lama dan sedemikian rupa. Saeed berpendapat bahwa perlunya untuk terus menerus melakukan kegiatan penafsiran sebagai akibat dari konteks al-Qur’an pada awal Islam dengan konteks sekarang yang mengalami perbedaan yang signifikan.
***
Kemudian yang ketiga, Saeed menjelaskan bahwa al-Qur’an mempunyai fleksibilitas, seperti yang kita ketahui bahwa terdapat perbedaan cara yang biasa disebut dengan Qira’at. Selain itu berkait pula dengan adanya konsep naskh. Hal ini menurutnya adalah suatu kemudahan kepada umat Islam dalam mempraktikan ajaran al-Qur’an.
Yang keempat, menurut Saeed bahwa pemahaman atas pemaknaan al-Qur’an hanyalah bersifat perkiraan. Hal ini tentunya memberikan pemahaman bahwa tidak benar mengatakan tafsir yang satu yang paling benar dan tentunya sudah mutlak. Tentunya ini merupakan suatu kekeliruan karena yang mutlak benar hanyalah al-Qur’an.
Yang kelima, Saeed berpendapat bahwa adanya kompleksitas makna atas al-Qur’an sebagai bantahan atas klaim tesktualis yang mengatakan bahwa makna al-Qur’an itu tunggal terbatas pada aspek teks saja. Menurut Saeed makna dari al-Qur’an itu dinamis dan juga beragam.
Keenam, perhatian atas konteks sosio-historis sangat diperlukan, terlebih mengenai ayat-ayat yang berkait dengan etika-hukum yang akan sulit untuk dipahami kandungannya selain dengan mempertimbangkan sosio-historisnya. Sehingga hal ini menurut Saaed menjadi bagian sangat penting dalam kegiatan penafsiran.
Ketujuh, Saeed menjelaskan ayat-ayat etika-hukum mengandung hirarki nilai. Menurutnya nilai-nilai tersebut menjadi salah satu aspek yang menentukan apakah dalam ayat tersebut mengandung makna unvirsal yang tidak bergantung konteks yang bisa diaplikasikan dimanapun dan kapanpun.
Hirarki Nilai
Hirarki nilai tersebut adalah sebagai berikut:
Nilai wajib (Obligatory Values), nilai yang berlaku universal, dilaksanakan oleh semua umat Islam dimanapunn dan kapanpun. Contoh dari nilai ini seperti rukun iman dan rukun Islam, semua umat Islam wajib melakukannya karena hal tersebut tidak terbatas ruang dan waktu.
Nilai fundamental (Fundamental Values), nilai ini merupakan nilai yang paling mendasar bagi umat Islam. Terdapat nilai kemanusiaan yang terkandung dalam nilai ini, seperti di antaranya hak untuk hidup, hak untuk beragama, konsep Maqasid al-Syariah merupakan suatu konsep yang menyinggung hal ini.
Nilai perlindungan (protectional velues), nilai ini merupakan turunan perincian dari nilai fundamental. Contohnya apabila dalam nilai fundamental ada hak untuk hidup maka nilai perlindungannya ada larangan untuk membunuh. Dan nilai ini jelas tidak ada perdebatan mengenai keberlakuannya karena nilainya universal.
Nilai implementasi (Implementasi Values), nilai ini tidak bersifat universal, karena sangat berkait erat dengan konteks pewahyuan al-Qur’an baik dari aspek sosial, kultural, dan hukum. Ini adalah pengaplikasian hukum bagi orang-orang yang melanggar nilai fundamental dan perlindungan. Misalnya potong tangan hukuman bagi orang yang mencuri.
Nilai Instruksional (Instructional values), adalah ayat-ayat yang berisi perintah dan larangan sebagai respon atau upaya mengatasi problem spesifik pada masa nabi. Sebagaimana hal tersebut, tentunya nilai ini tidak bisa memuat nilai universal secara langsung, karena erat kaitannya dengan konteks pewahyuannya.
Angin Segar Gagasan Abdullah Saeed
Gagasan dari Abdullah Saeed membawa angin segar bagi perkembangan studi Qur’an khususnya kajian tafsir. Upayanya mengaplikasikan al-Qur’an yang shahih likulii zaman wal makan dan memegang teguh semangat dan tujuan al-Qur’an yang rahmatan lil ‘alamin merupakan sumbangsih dan kontribusi yang berharga.
Semangat untuk menjalankan ajaran al-Qur’an jangan sampai ternodai dengan ajaran yang tidak sesuai dengan konteks dipaksakan untuk bisa sesuai. Alih-alih hal tersebut malah mereduksi dari semangat dan tujuan al-Qur’an itu sendiri.
Editor: Ananul Nahari Hayunah
Leave a Reply