Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

5 Amal Yang Merusak Nilai Kehidupan

merusak nilai kehidupan
Sumber: https://islam.nu.or.id

Ada 5 perkara yang dapat merusak nilai kehidupan:

1. Bergantung pada selain Allah

Kita telah meyakini bahwa rezeki datangnya dari Allah. Hanya Dia yang mampu untuk menyimpitkan dan membuka jalan rezeki hambanya. Namun masih ada dari beberapa hamba-Nya yang meminta bantuan kepada kekutan lain selain Allah. Contohnya orang yang ingin kejayaannya bertambah. Ia bukannya datang kepada Allah melainkan ia malah datang kepada orang yang menghubungkannya dengan jin seperti dukun; menyembah tepat-tempat keramat dan lain sebagainya. Inilah yang merusak nilai kehidupan.

Orang yang bergantung kepada Allah jelas akan melemahkan iman; melemahkan akal sehat, melenyapkan keberkahan, menghilangkan rasa tentram dan hidup menjadi tidak nyaman. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jin ayat 26-27;“Dia Maha Mengetahui yang ghaib, sedangkan manusia tidak akan bisa melihat hal yang ghaib kecuali Allah yang telah memberikan keistimewaan itu kepada orang yang dikehendakinya teruama kepada rasul yang diridhoinya”.

2. Banyak Angan-Angan Kosong

Angan-angan kosong adalah suatu sifat yang sangat tercela dan dapat menghancurkan akhirat seseorang tersebut dan (cenderung) memakmurkan dunianya. Rasulullah SAW bersabda, tentang perbuatan yang merusak nilai kehidupan sebagai berikut:

ينجو أول هذه الأمة بالزهد في الدنيا وقصر الأمل , ويهلك اخرها بالحرص وطول الأمل

Artinya: “Golongan pertama umat ini selamat karena sikap zuhud terhadap dunia dan angan-angan yang pendek, sedangkan golongan terakhir umat ini akan celaka karena rakus terhadap dunia dan karena angan-angan kosong.”.

Akibat dari angan-angan kosong ini timbullah sikap selalu menunda-nunda, dia bagaikan orang mandul yang tidak dapat melahirkan kebaikan apapun, dikatakan: Sesungguhnya kebanyakan jeritan penduduk neraka disebabkan sifat menunda-nunda. Orang yang suka menunda-nunda selalu merasa berat dalam menjalankan ketaatan dan menunda taubatnya atas perbuatan maksiat yang dilakukannya hingga maut menjemputnya.

Baca Juga  Jurusan IAT bukan Jalan untuk menjadi Nabi: Refleksi QS. Al-Isra’[7]: 84

3. Memutuskan Rantai Kebaikan

Memutus Rantai Kebaikan sama halnya kita merusak tanaman yang hendak berbuah. Dari perumpamaan tersebut, hendaknya kita dalam bertindak harus berhati-hati, karena bisa saja secara tidak sadar justru kita memutus rantai kebaikan itu. Dan hal itu bisa terjadi karena:

Pertama, Kita tidak bisa konsisten untuk merawat amalan kecil, contohnya seperti tersenyum kepada orang lain, menyingkirkan batu, duri dan pecahan kaca, dan lain-lain. Hal tersebut nampaknya sepele, namun apakah kita sudah bisa konsisten dalam melakukannya? Jika tidak dapat merusak nilai kehidupan kita.

Kedua, memutus kebaikan orang tua merupakan salah satu perusak keharmonisan hidup, karena Orang tua adalah orang yang telah merawat, membersamai kita selama ini, dan setiap orang pastinya telah menjalankan peranannya sebagai orang tua dengan baik. Sehebat apapun kita dimata orang lain, namun Ketika kita dihadapan orang tua kita tetaplah anak. Dan seburuk-buruknya orang tua kita seharusnya hal itu tidak menjadikan kita membencinya, karena sekali kita berani untuk membantah maka terputuslah rantai kebaikan itu.

4. Perhitungan

Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq adalah orang yang sangat dermawan meskipun beliau berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi yang pas-pasan, namun ia tidak pernah menyimpan harta, semua ia sedekahkan, ia tidak pernah berkeinginan untuk menumpuk harta, bahkan istri Zubair bin Awwam juga tidak mau menahan rezeki dirumahnya sampai esok harinya, apabila hari ini ia mendapatkan rezeki dari suaminya, ia mengambil secukupnya lalu membagikannya kepada orang yang membutuhkan.

Suatu hari asma’ mendatangi rasulullah dan menceritakan perihal ekonomi keluarganya, lalu ia bertanya kepada beliau “apakah aku harus tetap bersedekah ya Rasullah? Rasulullah pun menjawab “ya bersedekahlah dan jangan menyimpannya, sehingga Allah yang akan menyimpan (pemberiannya) kepadamu.”  

Baca Juga  Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Ibrahim dan Tetamunya

Dari cerita tersebut, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa mengapa kita terlalu berhitung atas rezeki yang telah kita dapatkan dan tidak mau untuk menyedekahkannya kepada orang lain yang sedang membutuhkan, padahal Allah swt tidak pernah berhitung ketika memberi rezekinya kepada kita. Andaikata allah berhitung, berapa yang harus kita bayar untuk setiap oksigen yang telah kita hirup? Berapa yang harus manusia bayar untuk menyewa matahari yang setiap harinya kita butuhkan? Lalu kenapa kita gemar berhitung sesama manusia.

5. Lari dari Keyataan Hidup

Lari dari kenyataan adalah sikap dari seseorang yang bertolak belakang atau tidak sesuai terhadap masalah (atau realita) yang sedang ia hadapi. Biasanya orang tersebut sulit menerima pendapat orang lain, sulit untuk diskusi atau menjauh, bahkan menghilang dari lingkungannya. Ketika kita lari dari masalah sama dengan kita lari dari kenyataan hidup. Hal ini terjadi disebabkan karena banyak faktor seperti malu untuk mengakui pekerjaan orangtua, malu terlihat miskin ia karena ia ada rasa gengsi dan takut diremehkan orang lain, sehingga dia menutupi jati dirinya dengan mengaku sebagai orang kaya yang serba kecukupan. Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 216, Allah berfirman: Belajarlah untuk menerima kenyataan hidup meskipun itu terasa pahit. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah: 216

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Artinya:Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.